Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyatakan pemerintah bisa memanfaatkan pertalite untuk menggantikan premium sebagai bahan bakar minyak penugasan yang harus disediakan SPBU Pertamina.
Menurut Fabby bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite memiliki kualitas lebih tinggi serta biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan premium.
"Jika sudah menjadi BBM penugasan, pemerintah bisa menjamin agar harga pertalite lebih murah," kata dia?di Jakarta, Sabtu (14/4/2018).
Dia menilai rencana pemerintah yang mengharuskan SPBU Pertamina menyediakan premium di Jawa, Madura dan Bali sebagai hal yang tidak tepat. Apalagi sebelumnya Pertamina tidak wajib menyediakan BBM RON 88 di wilayah tersebut.
Menurut Fabby, kualitas premium sangat rendah. Selain itu biaya penyediaannya sangat mahal sebab BBM jenis tersebut tidak dijual di pasar internasional.
Dengan demikian, penyediaannya dilakukan melalui proses blending BBM RON lebih tinggi yang juga didatangkan melalui impor. Dari proses tersebut, biaya untuk penyediaan premium jauh lebih mahal dibandingkan BBM lain yang tanpa melalui blending.
Kebijakan pemerintah tersebut akan dituangkan melalui revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang rencananya revisi perpres akan terbit pekan ini.
Dia menambahkan Kementerian ESDM harus memberikan pertimbangan teknis terkait rencana revisi perpres itu. Misalnya, mengenai besarnya biaya produksi, selisih biaya yang harus ditanggung Pertamina, dan konsekuensinya.
"Kalau semua persoalan tersebut dibahas maka akan ada kebijakan rasional terkait RON 88. Tidak seperti sekarang yang cenderung memaksakan," katanya.
Menurut Fabby, pada intinya, pemerintah memang harus menyediakan BBM yang terjangkau. Hanya saja harus cermat dalam memberi penugasan. Karena itu, sangat aneh kalau aturan yang baru itu justru mempertahankan premium meski biayanya lebih besar.
"Apalagi, meski harga ditetapkan Pemerintah, namun Pertamina tidak mendapat subsidi untuk premium. Jadi seluruh biaya ditanggung oleh Pertamina," kata dia.
Secara terpisah, pengamat BUMN Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menilai, harusnya pemerintah memberikan "fee" atau kompensasi kepada BUMN pada setiap penugasan yang diterima.
"Kalau tidak, maka potential lost BUMN tersebut akan semakin besar. Perlahan bisa mati karena siapa yang harus membayar ongkos produksi?" katanya.
Apalagi jika diharuskan menjual di wilayah yang titik-titik pembeliannya tidak banyak dan di saat permintaan premium memang menurun drastis seperti sekarang.
Toto menekankan, kompensasi sangat penting. Apalagi karena selama ini pemerintah juga tidak memberikan subsidi untuk premium.
Padahal, setiap pemerintah mengatur harga dan BUMN harga jual tersebut berada di atas biaya produksi, seharusnya pemerintah yang memberikan subsidi, bukan BUMN.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: