Pada 27 November 2017 lalu, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum ditunjuk menjadi Induk Holding BUMN Tambang, menjadi punggawa bagi empat anak usahanya: 65% saham PT Antam Tbk; 65,02% saham PT Bukit Asam Tbk; 65% saham PT Timah Tbk; dan 9,36% saham PT Freeport Indonesia.
Tugas yang diemban bukan main, ada tiga sekaligus: menguasai cadangan sumber daya mineral, hilirisasi produk dan kandungan lokal, serta menjadi perusahaan kelas dunia (Fortune Global 500). Per akhir 2017 lalu, perusahaan mampu memproduksi aluminium batangan (ingot) sebanyak 219.000 metrik ton atau masih jauh dari kebutuhan press metal domestic yang ditaksir mencapai 750.000 metrik ton. Ini dihasilkan dari pabrik Kuala Tanjung (Sungai Asahan).
Perusahaan juga mulai melakukan hilirisasi berupa billet (material bangunan untuk kusen, jendela, dan pintu), dan foundry alloy (otomotif) per 23 Juni 2017 yang lalu. Ditargetkan nantinya proyek diversifikasi ini mampu memproduksi 30.000 ton billet dan 90.000 ton foundry alloy per tahun.
Dari sisi posisi keuangan, secara terpisah tercatat aset, pendapatan, dan laba bersih masing-masing Rp73,3 triliun; Rp5,8 triliun; dan Rp1,6 triliun. Namun secara holding, aset, pendapatan, dan laba bersihnya tercatat masing-masing Rp93,2 triliun; Rp47,2 triliun; dan Rp6,8 triliun. Sebagai perbandingan, perusahaan tambang dunia, seperti Angelo America, Vale, Bhp Billiton, Glencore, Rio Tinto, Russal, hingga Chalco, punya pendapatan antara 7 hingga 58 kali lebih besar dari holding Inalum.
Di jajaran Fortune Global 500 sendiri, posisi ke-500 dihuni Ericsson yang pendapatannya enam kali lebih besar dari holding Inalum dan hanya PT Pertamina satu-satunya perusahaan nasional yang masuk di posisi ke-253 dengan pendapatan 12 kali holding Inalum.
Tentu, Inalum bakal melakukan transformasi agar bisa naik kelas. Targetnya agar bisa memproduksi satu juta ton aluminium di tahun 2025. Langkah pertama, ekspansi pengembangan klaster aluminium di Provinsi Kalimantan Utara tepatnya di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah Kuning yang saat ini tengah finalisasi prastudi kelayakan dan persiapan lahan.
Perusahaan akan membangun pabrik dengan bermotor PLTA di bantaran Sungai Kayan yang ditargetkan bisa di-EPC tahun 2019 dan commissioning tahun 2024 mendatang. Ini ditargetkan memiliki kapasitas produksi hingga satu juta ton secara bertahap. Smelter-nya sendiri akan dibangun tahun 2022, seusai kontrak kerja (KK) PT Freeport Indonesia habis. Untuk 500.000 ton tahap pertama akan dibagi menjadi 100.000 ton alloy, 100.000 ton wire road, dan 100.000 ton billet.
Selain itu, perusahaan juga tengah mengebut proyek Smelter Grade Alumina (SGA) di Mempawah, Kalimantan Barat, bersama PT Antam dan investor dari Tiongkok yang ditarget dapat berproduksi secara komersial pada 2020. Nantinya, ini akan memproduksi 500.000 ton alumina dan tambahan 50.000 ton billet.
Tak hanya itu, upgrade kapasitas existing di Kuala Tanjung (saat ini 500.000 ton alumina setara 250.000 ton aluminium) menjadi 300.000 ton aluminium. Perusahaan juga dalam dua tahun mendatang akan menjalankan research center yang akan menkaji produk turunan lain, seperti wire road (untuk IPP) yang saat ini masih diimpor sekitar 7.000 ton per tahun dan slab sheet.
Tidak lupa, untuk menjadi world class company, perusahaan juga masih mengincar tambahan aset setelah proses akuisisi 51% saham Freeport Indonesia selesai dan tambahan dari akuisisi lainnya, semisal Vale. Dengan semangat kerja keras dan tujuh prinsip bushido yang masih tertanam dalam segenap jajaran Inalum, mimpi itu rasanya kian mendekati kenyataan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: