Pengamat Fiskal dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Rony Bako meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit anggaran Kementerian Pertanian. Ia mengatakan?kenaikan anggaran hingga lebih 50% harus diuji dengan dengan output yang dihasilkan, yakni peningkatan hasil produksi pertanian, terutama tanaman pangan.?
?Mohon maaf nih, kita masih impor, padahal anggaran sudah banyak (keluar). Berarti Kementerian Pertanian tidak berhasil. Menterinya harus tanggung jawab secara jabatan,? katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Lanjutnya, ia melihat ada hal yang cukup ganjil soal naiknya anggaran Kementerian Pertanian pada 2017. Anggaran untuk Kementerian Pertanian pada APBN dialokasikan sebesar Rp24,15 triliun, kemudian melonjak tajam menjadi sebanyak Rp37,97 triliun.?
?Boleh dia naik lebih dari 15%, tapi outcome-nya dong. Ada manfaatnya nggak? Lakip (laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) itu dievaluasi nggak? ? ujarnya.
Menurutnya, outcome kinerja pertanian dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama mengenai kesejahteraan petani. Kedua mengenai kemampuan konsumen untuk membeli komoditas. Terhadap hal ini ia mencontohkan, Nilai Tukar Petani (NTP) petani pangan, khususnya padi, harusnya bertambah cukup banyak. Sementara itu, harga beras di tingkat konsumen juga harus terjaga.??
Secara umum, berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Oktober 2018 justru turun 0,14% secara month to month ke angka 103,02 dibandingkan September 2017. Penurunan disebabkan indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani.
Harga gabah kering panen di tingkat petani pada Oktober ini sendiri tercatat naik 0,98%. Namun sayangnya, kenaikan produksi petani ini tidak diimbangi oleh makin makmurnya petani-petani tanaman pangan tersebut, dilihat dari NTP petani pangan yang hanya meningkat 0,82% dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, harga beras pun diketahui mengalami fluktuasi sangat tinggi di tahun ini.
Tak hanya beras, impor komoditas pangan juga sebenarnya terjadi di komoditas lainnya seperti jagung. Tingginya harga jagung di pasaran, membuat pemerintah terpakas membuka impor jagung sebanyak 100.000 ton. Padahal, Menteri Pertanian Andi Amran Sumlaiman mengklaim produksi jagung dalam negeri surplus bahkan mengekspor komoditas ini.?
Sementara itu, Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi pun menyayangkan apa yang diperbuat Menteri Amran tersebut. Rencana impor jagung itu, menurutnya, justru memperlihatkan buruknya manajemen data yang dimiliki Kementan.?
?Kemarin, mereka (Kementan-red) bilang kita surplus jagung, sekarang minta impor jagung. Artinya, kita memang kekurangan jagung,? kata Uchok terpisah.
Hak Jawab
Kementerian Pertanian menyampaikan Hak Jawab atas pemberitaan ini melalui?siaran pers yang dimuat oleh Warta Ekonomi Online dalam berita berjudul?Tak Ada Polemik Data Pangan, Kementan Sudah on the Track
Sebelumnya, pada Selasa (8/1/2019) lalu?Dewan Pers telah melakukan mediasi antara pihak?Warta Ekonomi Online?dan Kementerian Pertanian. Pihak Warta Ekonomi Online diwakili oleh Muhamad Ihsan selaku pemimpin redaksi, sedangkan pihak Kementan diwakili oleh Eddy Purnomo selaku Kepala Biro Hukum.?Adapun dari Dewan Pers yakni Imam Wahyudi selaku Ketua Komisi Pengaduan dan Hendry Ch Bangun selaku Wakil Ketua Komisi Pengaduan.
Berikut ini dokumen lengkap Risalah Penyelesaian Nomor 10/Risalah-DP/I-2019 tentang Pengaduan MM Eddy Purnomo Kepala Biro Hukum, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian terhadap Media Siber?WartaEkonomi.co.id.
Dewan Pers menerima pengaduan dari Saudara MM Eddy Purnomo, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian (selanjutnya disebut Pengadu) tertanggal 22 November 2018 terhadap media siber wartaekonomi.co.id (selanjutnya disebut Teradu).
Pengaduan ini terkait dengan berita yang diunggah oleh wartaekonomi.co.id tentang Kementerian Pertanian dan Menteri Pertanian dengan judul?Anggaran Capai Rp37,97 T, Pakar: Kok Kementan Impor??yang diunggah pada Selasa, 6 November 2018.
Dewan Pers telah meminta klarifikasi kepada Pengadu dan Teradu pada Selasa, 18 Desember 2018 dan Selasa, 8 Januari 2019. Berdasarkan hasil klarifikasi tersebut, Dewan Pers menilai Teradu melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik karena tidak berimbang.
Pengadu dan Teradu menerima penilaian Dewan Pers tersebut dan sepakat menyelesaikan kasus ini di Dewan Pers dan menyepakati proses penyelesaian pengaduan sebagai berikut
1. Teradu wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu secara proporsional selambat-lambatnya 2x24 jam setelah Hak Jawab diterima;
2. Pengadu memberikan Hak Jawab selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah ditandatanganinya risalah ini;
3. Sesuai dengan Pedoman Pemberitaan Media Siber (Peraturan Dewan Pers Nomor 1/2012) pemuatan Hak Jawab dari Pengadu di media siber Teradu harus ditautkan dengan berita yang diadukan.
4. Teradu wajib memuat Risalah Penyelesaian ini di medianya.
5. Teradu wajib melaporkan bukti tindak lanjut Risalah ini ke Dewan Pers selambat-lambatnya 3x24 jam setelah Hak Jawab diunggah.
6. Kedua pihak sepakat mengakhiri kasus di Dewan Pers dan tidak membawa ke jalur hukum, kecuali kesepakatan di atas tidak dilaksanakan.
Tidak melayan Hak Jawab bisa dipidana denda sebanyak-banyaknya Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.?
Demikian Risalah Penyelesaian Pengaduan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya
Jakarta, 8 Januari 2019
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: