Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Paket Wisata Hemat Bodong di Bali dan Isu Konspirasi Investasi China (1)

        Paket Wisata Hemat Bodong di Bali dan Isu Konspirasi Investasi China (1) Kredit Foto: Antara/Jojon
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Isu paket wisata murah di Pulau Dewata dan polemik yang menyertainya, sebenarnya bukan terjadi baru-baru ini saja, tetapi sudah mencuat sejak dua periode kepemimpinan Made Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali dan mungkin sebelumnya.

        "Praktik itu ("jual-beli kepala" dengan menekan tarif berbagai pelayanan wisata untuk rombongan turis yang dilakukan 'mafia') harus dihentikan. Kalau tidak, pariwisata rusak," kata Pastika saat pertama bertemu dengan jajaran pimpinan redaksi di Denpasar, 4 Februari 2010.

        Bagi Pastika yang saat itu baru 1,5 tahun menjabat Gubernur Bali, praktik "jual-beli kepala" akan merusak pariwisata, karena tidak memperhatikan aspek pelayanan (kualitas) dan hanya memikirkan "kuantitas" yang didasarkan "perjanjian" segelintir orang untuk "obral" tarif.

        Tarif yang diobral oleh "mafia" yang melibatkan biro/agen perjalanan wisata di China (diduga dari Guangzhou, China) yang bekerja sama dengan pihak Indonesia dari kalangan penerbangan, pemandu wisata, pihak hotel, restoran, dan toko cendera mata itu cukup murah. Murah meriah.

        Obral "murah meriah" itu berkisar satu paket wisata dengan harga 1.700 hingga 1.900-an RMB untuk tujuan Bali, termasuk tiket pesawat pulang pergi (PP) dan akomodasi selama lima hari dan menginap empat malam.

        Informasinya, wisata "paket hemat" itu dalam "kendali penuh" agen/biro yang mendapatkan tarif penerbangan "pahe", kemudian berkembang hingga ke Bali dengan pelayanan murah dari hotel, restoran, dan toko suvenir yang konon milik orang China yang tinggal di Bali juga, sehingga murah.

        Bahkan, pemilik toko itu konon mendatangkan barang cendera mata yang murah dari China juga, kemudian sistem transaksinya juga dilakukan secara daring/online. Semuanya dikendalikan oleh sebuah sindikasi yang juga diduga melibatkan pemerintah, khususnya pihak perizinan usaha dan maskapai penerbangan.

        Akhirnya, banyaknya wisatawan secara kuantitas itu justru dilayani oleh "mafia" yang "mengatur" paket wisata, pemandu wisata, penginapan/hotel, restoran, hingga toko cendera mata dengan obral tarif wisata yang ada. Para "mafia" itu menjaring peminat pariwisata "pahe" lewat media daring/online.

        Selain pelayanan yang asal-asalan akibat "obral" tarif untuk hotel berbintang dan pelayanan wisata lainnya itu, maka pemandu mempunyai serangkaian "perjanjian" dengan travel agen, pihak hotel dan juga dengan pihak toko cendera mata melalui "komisi" untuk keuntungan pribadi.

        Pernah ada cerita, rombongan turis yang ditinggalkan pemandunya, karena wisatawan berbelanja di toko cendera mata di lokasi wisata, padahal pemandu sudah menentukan toko yang akan dituju. Konon, paket wisata dengan harga sangat hemat itu tidak hanya dijual untuk Bali, namun juga dijual untuk tujuan Manado, Sulawesi Selatan.

        Dampak dari "hitungan per kepala" atau "membeli" turis itu adalah pelayanannya asal-asalan, mulai dari bus yang digunakan sebagai transportasi tidak berkualitas baik, restoran bukan yang berstandar bagus, hingga hotel yang sangat murah, termasuk toko cendera mata yang "murah meriah".

        Hasilnya? Bukan sekadar "devisa" hanya lewat, namun citra pariwisata Bali di mata dunia pun dipertaruhkan. Namun, hingga Mangku Pastika mengakhiri jabatannya (2018), agaknya isu paket wisata murah itu masih saja menjadi dilema yang belum tuntas.

        Apalagi, dua tahun terakhir, wisatawan dari Tiongkok meningkat cukup signifikan hingga menyodok posisi wisatawan Australia yang selama ini di peringkat pertama yakni 1,1 juta wisatawan China dan 884 ribu wisatawan Australia (BPS, September 2018), sehingga dilema yang murni soal wisata itu pun disisipi isu SARA lewat media sosial (medsos).

        Isunya bahwa BKPM (BKPMD) mempermudah izin bisnis pariwisata khususnya China, untuk mendatangkan keuntungan miliaran Yuan ke Indonesia, kemudian pihak Imigrasi juga dianggap terlalu longgar, padahal isu paket wisata murah tersebut memang begitu dan sudah lama terjadi tanpa harus dikaitkan dengan negara tertentu.

        Oleh karena itu, ikhtiar mencari solusi komprehensif untuk mengatasi "lingkaran" isu yang sudah bertahun-tahun terjadi tersebut lebih penting. Intinya mencari solusi dengan mengurai "mafia" yang ada itu lebih mendesak daripada mencari pihak yang harus dipersalahkan, apalagi bila bertujuan politis.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: