Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Soal Ekonomi 2019, CORE: Kita Perlu Lompatan

        Soal Ekonomi 2019, CORE: Kita Perlu Lompatan Kredit Foto: Antara/Zabur Karuru
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Center Of Reform on Economic (CORE) Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2019 hanya akan mencapai 5,1-5,2%. Sektor manufaktur akan tumbuh lebih rendah, 4,3%. Dari segi angka, prediksi ini hanya sedikit berbeda dari patokan Bank Indonesia yang mematok pertumbuhan 5,3% pada 2019.

        Namun, menurut Ekonom Senior CORE Hendri Saparini, angka itu masih jauh dari harapan ideal. Pertumbuhan seperti itu adalah kenyataan pahit saat Indonesia membutuhkan lompatan ekonomi.

        "Pertumbuhan yang landai ini menandakan kebijakan fiskal kita belum bisa merespons kondisi yang ada, untuk itu kita memerlukan atraksi yang lebih konservatif," kata dia di Jakarta, Jumat (21/12/2018).

        Lompatan yang dimaksud ialah menggenjot sektor industri yang berkontribusi besar terhadap ekonomi seperti industri manufaktur. Melihat gejalanya, tahun depan pertumbuhan industri manufatur akan marjinal di angka 4,26-4,3%.

        "Itu prediksi kami di CORE Indonesia. Sampai kuartal ketiga tahun ini saja pertumbuhannya masih di angka 4,32%, ada perlambatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya," paparnya.

        Industri manufaktur merupakan salah satu tumpuan perekonomian nasional, maka perlakuannya harus istimewa. Apalagi program Presiden Joko Widodo pada tahun pertama dahulu adalah mendorong sektor industri. Tetapi, nyatanya sampai sekarang tidak ada pertumbuhan yang signifikan.

        "Terdapat banyak komponen yang menjadi alasan kami tak mematok pertumbuhan tinggi untuk industri manufaktur. Tahun depan biaya produksi akan melonjak oleh potensi naiknya harga BBM, terutama BBM industri. Pelemahan rupiah juga masih akan memberi pengauh pada biaya produksi," jelas Hendri.

        Komponen penghambat berikutnya, lanjut dia, ialah masalah di pelabuhan yang sampai sekarang belum tuntas, meskipun dwelling time sudah berhasil diturunkan drastis.

        "Saran saya, sebaiknya pemerintah mulai berpikir menyiapkan terminal kontainer internasional yang baru," ungkapnya.

        Pelabuhan Tanjung Priok untuk bongkar muat bahan baku saja, sedangkan barang konsumsi dialihkan ke pelabuhan lain. Langkah ini meski mahal pada awalnya, tetapi secara permanen akan menghemat biaya logistik.

        Tahun depan permintaan global akan menurun karena pelemahan ekonomi, sehingga neraca ekspor akan terdepresiasi. Lagi-lagi, industri manufaktur yang paling terkena dampaknya karena kondisi global yang lesu, investasi sektor industri bisa dipastikan menurun.

        Situasi dalam negeri juga kurang mendukung ketika insentif pajak manufaktur hanya tumbuh 2% pada dua tahun terakhir. Pemerintah seolah tak merasa iba, meskipun manufaktur memiliki kontribusi pajak tertinggi sampai 31,8%. Sektor manufaktur juga menjadi pejuang tenaga kerja, terutama pada sektor padat karya.

        2019, peringkat indeks kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia turun satu tingkat ke posisi 73 dari 190 negara. Dalam laporan Doing Business 2019 yang dikeluarkan World Bank Oktober 2018 lalu, meski turun ranking, indeks Indonesia naik tipis dari 66,47 menjadi 67,96.

        Bank Dunia menilai Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa reformasi di sejumlah kategori, yaitu starting a business atau memulai usaha, pendaftaran properti atau registering property,?dan getting credit atau akses terhadap kredit perbankan. Namun, negara-negara lain berlari lebih cepat.

        Kebijakan perizinan terpadu Online Single Submission yang dicanangkan pemerintah pada kenyataannya belum berjalan sesuai harapan. Saya mendengar dari Jawa Barat, antarinstitusi ternyata masih bingung tentang peran masing-masing. Hal ini dapat menghambat proses perizinan dan investasi, termasuk manufaktur.

        Kebijakan fiskal dan restitusi pajak belum cukup mendukung tumbuhnya sektor manufaktur karena penerapan Non-Tariff Measures (NTM ) dan Tingkat Kandungan dalam Negeri (TKDN) untuk menghambat impor, belum maksimal.

        "Kita ini negara paling sedikit menerapkan kebijakan tarif impor dibandingkan yang lain. Kalau produk asing mau ekspansi seharusnya banyak sekali persyaratan atau hambatan yang dibikin supaya mereka tidak begitu mudah masuk," ucap Hendri.

        Harga energi (gas industri) yang masih mahal dibanding negara lain juga menjadi sumbatan lain. Sementara persoalan lama tentang SDM tak siap pakai dan UMP juga masih menjadi kendala karena tahun depan pastinya akan ada kenaikan upah provinsi.

        Namun, di bidang manufaktur sebenarnya masih ada yang bertumbuh, yaitu industri makanan-minuman, tekstil, dan alat angkutan, termasuk kendaran bermotor. Meskipun nilai investasinya tidak semenggembirakan di 2018, tapi mereka naik secara positif. Share investasi industri yang terbanyak ada di industri makanan-minuman.

        Khusus sektor makanan-minuman dan tekstil, tahun depan akan diuntungkan dengan pesta demokrasi dan program bantuan sosial. Sedangkan sektor alat angkutan akan terdorong oleh tumbuhnya transportasi online. Sebuah kabar baik, tahun depan akan dimulai kerja sama antara Indonesia dengan Malaysia dalam produksi mobil Asean dengan target 650 juta kendaraan sampai 2020.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: