Pengamat ekonomi digital yang juga CEO PT Duta Sukses Dunia, Yudi Candra, megungkapkan dari sekitar 1.500 hingga 1.700 perusahaan rintisa (startup) di Indonesia, yang sukses masih relatif kecil, sekitar 1 persennya saja, 99 persennya gagal.
"Mayoritas startup kita gagal dalam mengembangkan bisnisnya," ungkap Yudi saat berbincang dengan Wartawan di Jakarta, Selasa malam, (12/2/2019).
Baca Juga: Bangun Startup Bareng Teman Itu GGS "Gampang-Gampang Sulit"
Kegagalan itu, sambung Yudi karena kebanyakan start up di Indonesia tidak menghadirkan solusi yang benar-benar baru atau inovatif dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Ibaratnya, sudah ada ride hailing sebesar Gojek, lantas berbondong-bondong bikin platform yang sama Golek, Lojek, Tripy di Pontianak, Bloon di Bengkulu, dan M-Jek di Mataram. Itu namanya bunuh diri.
"Sifatnya masih ikut-ikutan. Kalau dengar ada yang berhasil, baru buat. Padahal jika ingin berhasil harus bisa membuat sesuatu yang baru dan original," sambungnya.
Menurutnya, startup harus menemukan produk yang inovatif dan modern kalau perlu sesuatu hal yang baru. Selain itu juga harus menemukan product-market fit terutama yang usaha rintisan yang benar-benar baru, agar tidak kehabisan modal.
"Ketika pendanaan adalah barang langka, sementara kamu butuh terus berjalan dan menekan burn rate-ongkos operasional per bulan sementara perusahaan masih merugi. Disitulah pentingnya kreatifitas dan inovasi," ujarnya.
Baca Juga: Rudiantara: Startup Media Massa Masih Minim
Adapun bicara investor, menurut Yudi lagi, jangan pernah berpikir bahwa setelah buka usaha startup lalu mencari investor. Tapi seorang pengusaha startup harus punya mindset pengembangan, jika sudah berhasil pasti investor datang dengan sendirinya.
"Pengusaha selalu berkutat pada minimnya modal, kalau bukan pinjaman di bank, pengharapan adanya yang mau investasi. Yang harus jadi garis besar adalah seorang pengusaha bagaimana menjadikan produknya laku dan dikenal banyak publik. Bank maupun investor akan datang dengan sendirinya," katanya.
Namun, kenyataannya, saat ini startup berebut untuk mendapatkan investasi dan sumber dana publik, dan mereka membutuhkan metodologi untuk menghemat modal serta bertahan cukup lama untuk menghasilkan pendapatan dan laba.
"Yang penting bari para investor saat ini adalah mengarahkan nilai valuasi startup ke level unicorn (senilai US$1 miliar atau sekitar Rp13 trilun) melalui pertumbuhan yang cepat-biasanya lewat pengguna, pendapatan, engagement, tapi hampir tidak pernah terkait laba. Muaranya biasanya ke IPO, karena nilai valuasi miliknya paling sedikit akan menjadi sepuluh kali lipat lebih tinggi dari sebelumnya," jelas dia.
Untuk mencapai hal tersebut, startup harus yakin sedang membangun sesuatu yang diinginkan dan dibutuhkan oleh konsumen.
Hal penting lainnya, cepat beradaptasi jika produk tidak direspon positif oleh masyarakat. Sebenernya memodifikasi satu produk relatif singkat, hanya butuh maksimal 3 hari selama produknya masih berkaitan dengan platform awal. Jika rencana awal gagal, mereka butuh proses yang masih memungkinkan untuk mengubah strategi secepat mungkin, ketika biaya melakukan perubahan masih kecil langkah ini dikenal dengan nama pivot.
?Startup yang berhasil mengumpulkan pendanaan berjumlah besar biasanya mempunyai leader yang lebih berfokus terhadap perkembangan trend dan? teknologi , flexible dan beradaptasi serta mampu berkolaborasi lebih baik daripada perusahaan petahana yang mereka coba saingi. Jangan takut untuk melakukan konfigurasi ulang saluran distribusi, model penentuan harga dan rantai pasokan serta berinvestasi terhadap pengembangan sdm dengan coaching dan training. Jika ingin berhasil pada bisnis ini, tidak ada salahnya untuk mencoba, tandasnya" tandasnya.
Baca Juga: Startup Teknologi Sering Kehilangan Karyawan Karena Alasan Ini...
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: