Meski menjadi salah satu negara dengan ketertarikan dan adopsi AI (Artificial Intelligence) tertinggi di ASEAN, Indonesia belum memaksimalkan potensi dari penggunaan AI (use case) khususnya di ranah enterprise. Seringkali, problem-problem yang coba di selesaikan dengan AI oleh Unicorn seperti Go-Jek dan Tokopedia, belum berdampak besar bagi pengembangan bisnis perusahaan. Kok bisa ya?
Pitoyo Hartono, profesor bidang jaringan saraf buatan di Department of Electrical and Electronic engineering, School of engineering, Chukyo University, (SECU) Jepang menyatakan salah satu penyebab arah pengembangan AI di Indonesia belum matang adalah karena kurangnya pemahaman teoritik seputar neural mathematics, linear aljabar dan sebagainya. Meskipun dirinya akademisi dan memang bukan seorang industrialis, ia sangat yakin tidak sedikit yang menggunakan AI di Indonesia pada bidang atau produk yang salah lantaran kurangnya pengetahuan akan essence AI itu sendiri.
"Mungkin saja pendapat saya ini bias. Tapi yang saya rasakan selama 10 tahun belakangan ini waktu saya banyak berinteraksi dengan banyak peneliti di salah satu universitas negeri di Indonesia misalnya, kita sangat lemah dalam hal teori," ujar Pitoyo kepada Warta Ekonomi belum lama ini.
Baca Juga: Keren! AI Bisa Dipercaya Lakukan Panggilan '911'
Jadi, lanjutnya, banyak orang yang menggunakan program Neural Network dan Machine Learning ini seperti Deep Learning.
"Dia enggak tahu apa yang dia lakukan itu untuk apa, dia melakukannya hanya karena dia bisa dan sekarang banyak sekali online library tapi mereka tidak tahu essence dari algoritma-algoritma itu," kata dia.
Lantaran ketidaktahuan akan essence AI itu sendiri, mereka menggunakan AI pada bidang-bidang, produk atau fungsi yang kurang tepat. Yang sering terjadi adalah overkill it, satu problem yang sebenarnya itu tidak perlu diselesaikan dengan neural network (karena bisnis impact-nya juga kecil), hanya karena mereka bisa dan itu terlihat seksi sehingga mereka overacting dengan memakainya.?
"Saya rasa kita harus lebih tahu teorinya, bahasa science-nya yaitu matematika. Jarang sekali peneliti di universitas besar juga di Indonesia yang mau belajar matematika, matematika neurologi apalagi, sama kasusnya seperti di Jepang banyak orang menghindari Matematika. Sehingga banyak talent yang tersia-siakan sebenarnya. Mereka tidak tahu limitasinya neural network ini bisa dipakai di hal mana dan ini tidak bisa dipakai di hal mana, itu saya rasa membuat kerancuan sehingga arahnya salah," tambah dia.
Baca Juga: Peneliti IBM Uji Coba AI Berbasis Komputer Kuantum
Dianalogikan, menggunakan AI itu ibarat jangan membunuh gajah dengan obat nyamuk, sebaliknya jangan membubuh nyamuk dengan bazooka. Pengguna harus tahu alat apa yang tepat untuk ia pakai. Pun ketika menemukan problem, harus dikenali problemnya semacam apa. Kalau ingin serius memberikan arah pada perkembangan AI ke depan di Indonesia, pengguna harus lebih tahu tentang teorinya dan tidak segan untuk masuk ke dalam matematika neurologinya misalnya.
"Para peneliti Google dan Facebook itu mereka adalah orang-orang yang sangat kuat dalam matematika. Jadi harus tahu apa yang dipelajari saat ini akan berimpact pada teknologi yang seperti apa, tidak bisa terus belajar sesuatu dengan abstrak. Harus bisa menjawab misalnya apa gunanya aljabar linear? Kenapa saya harus belajar ini? Ini harus bisa dijawab dengan konteks teknologi-teknologi yang ada sekarang," tambah Pitoyo
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Kumairoh