Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pemilu Usai, Bahana Susun Strategi Investasi

        Pemilu Usai, Bahana Susun Strategi Investasi Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pesta demokrasi Indonesia telah berlangsung dengan semarak pekan lalu. Para pelaku pasar di tahun pemilu ini menunjukkan antusiasmenya, terbukti dari arus modal asing yang meningkat, baik di pasar modal maupun obligasi sejak awal tahun (year to date/ytd) hingga akhir pekan lalu.

        Sayangnya, dampak pemilu terhadap pasar modal pada tahun ini tidak akan sekuat dibandingkan pemilu sebelumnya sejak era reformasi.

        Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat mengungkapkan berakhirnya era super commodity booming yang memicu defisit neraca berjalan selama lima tahun terakhir merupakan faktor pembeda secara fundamental.

        "Pada pemilu sebelumnya, era super commodity booming menopang surplus neraca berjalan yang memperkuat daya beli masyarakat seperti tercermin pada peningkatan uang beredar M1. Penjualan big-ticket items seperti kendaraan bermotor, properti, dan semen cenderung meningkat yang menaikkan laba emiten. Itu sebabnya, IHSG melambung setiap tahun pemilu," katanya dalam keterangan pers, Senin (22/4/2019).

        Baca Juga: Bahana Yakin Penerbitan Obligasi Bakal Ramai

        Budi menlanjutkan, "Namun, pemilu kali ini ditandai dengan pelemahan pertumbuhan M1 yang sejalan dengan defisit neraca berjalan yang berisiko membatasi kenaikan IHSG."

        Lalu, bagaimana strategi investasi BTIM pascapemilu tahun ini? Sebagai perusahaan manajer investasi plat merah, BTIM menggunakan panduan ringkas untuk memahami prospek investasi di pasar modal.

        "Dalam keadaan normal, kami mencermati lima faktor utama yang disingkat sebagai ELVIS. Earning sebagai faktor utama untuk menarik investor saham. Kedua, liquidity terutama dari luar negeri," papar Budi.

        Selanjutnya, valuation seperti price to earning ratio. Lalu, interest rate terutama kebijakan bank sentral, dan terakhir sentiment yang bisa diukur berdasarkan angka credit default swap (CDS) Indonesia.

        "Mencermati dinamika global dan fundamental domestik, panduan itu kami atur ulang sebagai SLIVE," jelasnya.

        Sentiment menjadi faktor utama terutama sebagai dampak perubahan drastis kebijakan the Fed yang mengakhiri pengetatan likuiditas dan berakhirnya stimulus pajak Presiden Trump. Berbeda dibandingkan 2018, arus modal asing mulai kembali menuju negara berkembang.

        Indonesia mendapat apresiasi khusus tidak hanya karena pemilu yang berlangsung damai, namun kesigapan dan independensi kebijakan moneter dan fiskal dalam menghadapi gejolak global selama 2018. Angka CDS Indonesia cenderung menurun yang menunjukkan kepercayaan investor asing bahwa risiko gagal bayar Indonesia terbilang rendah.

        Ada peluang Bank Indonesia (BI) bakal melonggarkan likuiditas, termasuk menurunkan suku bunga bila the Fed tak lagi menaikkan bunga, sementara penyaluran kredit masih belum memuaskan.

        Budi menyoroti spread antara suku bunga BI baik terhadap proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbilang tebal setelah kenaikan pesat bunga selama tahun lalu.

        Berdasarkan panduan SLIVE, Budi melihat alokasi arus modal asing di pasar surat berharga negara (SBN) akan lebih besar ketimbang pasar modal. Investor asing memanfaatkan imbal hasil SBN yang masih relatif tinggi sejalan dengan penurunan yield T-bond dan peluang penguatan rupiah hingga akhir tahun. Terlebih, risiko kelebihan penawaran SBN relatif terbatas mengingat pemerintah telah lebih awal menerbitkan (front-loading) jelang akhir tahun lalu.

        Baca Juga: Ekonomi Belum Aman Banget, Bahana TCW Tak Mau Muluk-muluk

        "Semarak pada pasar SBN menjadi semacam prasyarat peluang kenaikan di pasar saham yang juga menunggu penguatan daya beli sekira pemerintah mampu memacu kinerja ekspor manufaktur dan pariwisata sebagai mesin penghasil valas selain komoditas primer," ungkap Budi.

        Budi memproyeksikan imbal hasil saham selama 2019 sejalan dengan pertumbuhan laba perusahaan sebesar 10-12% sehingga IHSG berpeluang ditutup pada 6.800-6.900 pada akhir tahun. Imbal hasil ini menarik dibandingkan inflasi yang diproyeksikan sekitar 3% hingga 4%.

        Saat ini arus modal asing yang masuk ke pasar modal telah mencapai Rp15,21 triliun sejak awal tahun. Sementara total dana asing yang masuk di pasar modal dan obligasi telah mencapai US$6 miliar, jauh lebih besar dari 2018.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: