Lambatnya Proses Verifikasi Hambat Redistribusi Lahan Pelepasan Kawasan Hutan
Realisasi program redistribusi lahan pelepasan kawasan hutan (lahan HGU yang sudah habis masanya, tanah terlantar dan tanah transmigrasi yang belum bersertifikat) sulit capai target. Dari target seluas 4,1 juta hektar yang dicanangkan pemerintah, penerbitan sertifikat atas lahan ini baru mencapai lahan seluas 0,15 juta hektar.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Muhammad Diheim Biru, mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi adalah lambatnya proses verifikasi.
"Proses verifikasi berjalan relatif lambat karena adanya ketidakharmonisan antara regulasi daerah dengan regulasi pusat," ujar Diheim kepada Warta Ekonomi di Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Baca Juga: Agar Semua HGU Kembali, Pak Jokowi Siapin Perangkat Hukumnya Dong...
Secara umum, lanjutnya, reforma agraria seharusnya tidak dipersulit dengan berbagai proses verifikasi yang menghabiskan banyak waktu sehingga menghambat konsolidasi dan redistribusi tanah kepada masyarakat tani yang membutuhkan.
"Regulasi yang menghambat ini disebabkan karena perlunya banyak persetujuan secara prosedural antara pemerintahan daerah dengan pusat, yang seharusnya perlu dibenahi di tiap provinsi untuk mempercepat proses," tambahnya.
Diheim menambahkan, Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional menyatakan harus adanya penyempurnaan sistem hukum pertanahan melalui inventarisasi perundang-undangan pertanahan. Penyempurnaan sistem hukum pertanahan dilakukan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat.
Baca Juga: "Tanya Itu Pak Luhut, Dia Punya HGU Berapa Hektare?"
Penyempurnaan sistem ini, lanjut Diheim, seharusnya sudah dilakukan sebelum implementasi suatu program dimulai. Ini harus diutamakan dalam perencanaan ke depan karena data luas lahan bisa saja belum diperbaharui, data luas lahan bisa saja berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan dan status penggunaan lahan bisa sewaktu-waktu berubah sebelum dinventarisasi dan dilegalisasi.
?Kalau perubahan status lahan itu disebabkan oleh deforestasi ilegal yang tidak terpantau, maka dapat menyebabkan peningkatan emisi karbon yang menimbulkan kerugian ekologis secara ekonomi dan sosial, dimana Indonesia sendiri termasuk dua puluh negara pengemisi karbon terbesar di dunia karena deforestasi dan pembukaan lahan,? tandasnya.
Kendala selanjutnya adalah lamanya proses inventarisasi. Inventarisasi lahan juga membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Proses pemasangan patok bataspun harus benar-benar teliti sesuai di peta. Target yang belum tercapai di tahun 2019 untuk pelepasan kawasan hutan ini disebabkan oleh batas yang belum selesai dipatok di lapangan. Lamanya proses ini akan berdampak pada penundaan legalisasi kawasan yang akan dilepas termasuk penerbitan sertifikat.
Lama proses inventarisasi lahan bisa saja disebabkan oleh belum maksimalnya koordinasi dan perencanaan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Data yang dikelola pemerintah daerah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai status kepemilikan lahan, batasan lahan, dan pengalokasian penduduk ke lahan yang baru seharusnya bisa selaras dan akurat dengan pengawasan yang terbuka setiap hari.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Kumairoh
Editor: Kumairoh