Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dinilai Salah Arah, Presiden Terpilih Mesti Beresin Kebijakan Pangan RI

        Dinilai Salah Arah, Presiden Terpilih Mesti Beresin Kebijakan Pangan RI Kredit Foto: Kementan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Presiden dan Wakil Presiden terpilih sudah sepatutnya memprioritaskan stabilitas dan ketahanan pangan dalam 100 hari pertama masa kepemimpinannya. Kenaikan harga beberapa komoditas pangan perlu diatasi dengan kebijakan yang tepat.

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman, menyampaikan bahwa ada beberapa poin utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan pemerintah terpilih pada 100 hari pertama yang terkait dengan kebijakan pangan.

        "Poin pertama adalah perbaikan data pangan. Data pangan selama ini menjadi polemik karena berperan dalam jumlah komoditas pangan yang diimpor. Jika data pangan tidak dapat diandalkan, lanjutnya, dikhawatirkan Indonesia impor pangan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Jumlah impor yang tidak tepat ini akan mempengaruhi harga di pasaran dan berpengaruh kepada kehidupan petani lokal dan masyarakat," ujar Ilman di Jakarta, Senin (13/5/2019).

        Baca Juga: Ketahanan Pangan Syarat Mutlak Pembangunan Nasional

        Sampai saat ini, lanjutnya baru data beras yang sudah dilakukan perbaikan pada Oktober 2018 lalu. Hasil dari perbaikan metode pengambilan data yang lebih baik ini menghasilkan jumlah beras yang diproduksi yang dianggap lebih akurat. Adapun komoditas yang selanjutnya sebaiknya diprioritaskan untuk perbaikan data adalah komoditas jagung.

        "Jagung berperan penting untuk biaya produksi industri peternakan unggas karena perannya sebagai pakan. Jika jagung yang ada di pasaran tidak mencukupi dan tidak sesuai kondisi yang diharapkan industri, tentunya harga pakan akan semakin mahal sehingga berimbas pada naiknya harga daging ayam dan telur," Ilman menjelaskan.

        Ia menambahkan, biaya pakan berkontribusi pada 50-60% seluruh biaya produksi yang ada di industri peternakan unggas. Sehingga data jagung penting untuk diukur lebih akurat agar menghasilkan angka yang tepat untuk perumusan kebijakan. Terkait dengan sebelumnya, poin kedua yang perlu diprioritaskan adalah penurunan biaya produksi tanaman pangan.

        Baca Juga: Cegah Kerentanan Pangan, Ini Strategi Kementan

        "Seperti yang diketahui, harga beberapa komoditas pangan di Indonesia relatif mahal dibandingkan dengan harga di tingkat internasional. Harga daging sapi internasional rata-rata berada di kisaran Rp60.000/kg. Sedangkan di Indonesia harganya bisa mencapai Rp80.000-120.000/kg. Harga gula juga terpaut jauh dimana di tingkat internasional harga hanya sekitar Rp4.000-5.000/kg, sedangkan harga di tingkat lokal mencapai Rp12.000-14.000/kg. Semua ini rata-rata pada 2017-2018 yang lalu. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah biaya produksi yang cukup mahal," kata Ilman.

        Poin berikutnya yang sepatutnya menjadi fokus adalah untuk mendorong kelancaran distribusi pangan dari daerah produksi ke pasar. Hingga saat ini, masih dapat ditemukan kendala dalam distribusi pangan. Berkaca pada keputusan impor bawang putih saja yang perizinannya sangat mepet dengan waktu bulan ramadan, menandakan adanya kendala birokrasi yang perlu diatasi agar flow barang masuk juga lancar demi menjaga kestabilan harga.

        "Tentunya impor perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai petani lokal dan juga konsumen. Dalam hal ini, timing impor perlu diperhatikan dan agar tidak ada hambatan yang berarti, regulasi yang ada perlu ditinjau ulang dan juga lebih transparan agar tidak perlu timbul pertanyaan mengenai kejelasan tindakan impor yang akan diambil pemerintah," tutur Ilman.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Boyke P. Siregar
        Editor: Kumairoh

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: