Perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan membuat pusing perusahaan seperti Samsung, SK Hynix, dan LG Display, yang sangat bergantung pada Jepang, penyuplai bahan kimia secara global.
Pernyataan resmi Tokyo mengatakan bahwa beberapa perusahaan Korea Selatan tidak mengelola bahan kimia dengan baik. Sementara sebuah laporan Jepang mengatakan, beberapa persediaan untuk Korea Selatan mungkin akan diputus kontraknya. Namun, Seoul membantah hal itu dengan mengatakan telah memberlakukan pembatasan perdagangan pada bahan-bahan sensitif.
Perselisihan itu bisa meningkat hingga minggu depan, ketika Jepang dijadwalkan untuk membuat pengumuman terkait Korea Selatan yang kabarnya akan dihapus dari daftar mitra dagang mereka, yang akan mengharuskan perusahaan Jepang mendapatkan verifikasi ekspor tambahan pada ratusan produk sebelum menjualnya ke perusahaan Korea.
Amerika Serikat (AS) telah mengatakan, tidak memiliki rencana untuk menengahi pertikaian antardua sekutu terbesarnya di Asia tersebut. Baginya yang penting??saat ini adalah menyeimbangkan hubungannya dengan China dan mengatasi ancaman dari Korea Utara.
Pembicaraan bilateral kedua negara itu pun gagal menghasilkan kemajuan positif. Seoul justru menolak proposal Tokyo untuk arbitrasi pihak ketiga.
Baca Juga: Trump dan Xi Jinping Bertemu di Jepang, Akankah Bawa Kabar Baik?
Dalam jangka pendek, langkah Jepang tidak akan membuat harga saham perusahaan-perusahaan Korea Selatan turun, bahkan investor berharap perang dagang tersebut dapat mengurangi kelebihan pasokan cip yang membuat harga cip dan pendapatan Samsung bersama perusahaan Korea Selatan lainnya turun.
Berhubung Samsung memiliki beberapa inventaris dari materi yang ada, mungkin butuh beberapa bulan agar dampak perang dagang ini terasa oleh para pelanggan cip dan layar Korea Selatan, seperti Apple dan Huawei.
Tindakan Jepang sejalan dengan langkah AS yang membatasi akses Huawei ke rantai pasokannya, dengan menghalangi perusahaan-perusahaan AS untuk melakukan bisnis dengan produsen smartphone China dan pembuat peralatan telekomunikasi tersebut pada Mei lalu, yang juga mengutip alasan terkait keamanan nasional.
Perang dagang kedua negara itu mulai mereda setelah Presiden Donald Trump dan Xi Jinping bertemu di sela-sela KTT G20 yang diselenggarakan oleh Jepang. Keduanya setuju memulai kembali pembicaraan perdagangan untuk mengatasi ketegangan mereka.
Namun, akar dari pertengkaran Jepang-Korea Selatan lebih rumit ketimbang persaingan ekonomi AS-China atau masalah keamanan. Kedua negara ini memiliki hubungan yang rumit, yang terbebani oleh sejarah mereka pada abad ke-20.
Korea Selatan menyimpan dendam terkait penjajahan Jepang di era 1910-1945 dan penindasan di masa perang, termasuk memaksa penduduk Korea masuk ke dalam praktik pelacuran dan bekerja di pabrik-pabrik di Jepang. Korea merasa Jepang belum menebus dosa-dosa masa lalu mereka.
Acara TV Korea, bintang k-pop, dan tren kecantikan sangat populer di Jepang. Sebaliknya Korea merupakan turis yang paling banyak mengunjungi Jepang setelah China. Meski begitu, hubungan kedua negara merenggang sejak putusan Mahkamah Agung Korea Selatan tahun lalu yang memerintahkan Nippon Steel, pembuat baja terbesar di Jepang, membayar hampir US$90.000 kepada pekerja yang masih hidup dan kepada keluarga tiga warga Korea lainnya yang dipaksa bekerja selama Perang Dunia II.
Sikap Tokyo jelas bahwa masalah kompensasi ditangani dengan perjanjian 1965 yang menormalisasi hubungan antarkedua negara. Jepang akan menyelesaikannya dengan memberikan ratusan juta dolar dalam bentuk bantuan dan pinjaman.
Baca Juga: Harta Kekayaan Miliarder di Korea Selatan Merosot, Ini Penyebabnya
Tak lama berselang sebuah pemberitahuan itu, Seoul mendesak perusahaan-perusahaan untuk memboikot produk Jepang. Kemudian, Japan Times, surat kabar berbahasa Inggris tertua di negara itu, memicu kemarahan Korea akhir tahun lalu ketika mengumumkan akan mengganti istilah "kerja paksa" dengan "pekerja masa perang". Langkah ini menurut para kritikus guna meluruskan agenda Perdana Menteri Shinzo Abe untuk membentuk kembali sejarah masa perang.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menggambarkan situasi perang dagang saat ini sebagai keadaan darurat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan meskipun perusahaan Korea Selatan mengatakan akan mencari pemasok pengganti, sektor teknologi kedua negara tetap saling terkait erat.
"Saya tidak yakin bagaimana Korea akan dapat mengganti input dari Jepang untuk produk jadi mereka," kata Bryan Mercurio, seorang ahli hukum perdagangan internasional di Chinese University of Hong Kong.
Ditambahkan dia, Jepang juga akan kesulitan mencari substitusi Korea sebagai pangsa ekspor untuk produk-produknya. Bryan pun tidak yakin perusahaan domestik akan dapat menyerap semua komponen produksi Jepang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: