Pengembangan industri sigaret kretek tangan (SKT) dan sektor padat karya lainnya menjadi salah satu kunci mengatasi pengangguran di Indonesia. Sebab, segmen ini paling banyak menyerap tenaga kerja.
Penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar amat penting karena mengatasi pengangguran. Hal ini juga menjadi salah satu perhatian Jokowi yang disampaikan pada masa kampanye lalu.
Direktur Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Siti Jubaedah mengatakan, angkatan kerja di Indonesia sebanyak 136,18 juta jiwa.
"Angkatan kerja tersebut di dominasi oleh pendidikan SMP," ucapnya pada diskusi yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) bertema "Menilik Arah Industri Padat Karya pada Pemerintahan yang Baru" yang digelar di Menteng belum lama ini.
Baca Juga: Pengangguran Digaji Negara, Memang Segampang Itu?
Dengan profil angkatan kerja seperti itu, dibutuhkan industri berdaya serap tinggi sekaligus tidak menuntut persyaratan keterampilan kompleks. Tidak banyak industri bisa memenuhi kebutuhan seperti itu. Industri padat karya seperti SKT menjadi salah satunya.
Karena itu, penting menjaga iklim usaha di sektor industri padat karya agar tetap sehat dan bertumbuh. Gangguan pada sektor ini akan mengurangi kemampuan penyerapan tenaga kerja.
"Jika iklim investasi ditingkatkan, akan meningkatkan hubungan negara, dan industri semakin baik, sehingga pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan. Jangan sampai terdapat pengangguran yang bisa menggoyang (kestabilan) masyarakat," ucap Siti.
Anggota DPR RI Fraksi PKB Faisol Reza menekankan perlunya insentif untuk industri padat karya untuk dapat berkembang. Insentif diperlukan padat karya untuk melindungi ketenagakerjaan.
"Padat karya secara filosofis merupakan jaminan sosial di masyarakat," ucap Faisol Riza pada kesempatan yang sama.
Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Mogadishu Djati Ertanto mengatakan, SKT merupakan industri pengolahan hasil tembakau yang menyerap tenaga kerja yang besar.
Baca Juga: Dear Pemerintah, Angka Pengangguran Bisa Turun, Nih Caranya!
Kondisi SKT saat ini mengalami tren penurunan produksi, tercatat pada 2011 produksi SKT mencapai 96,53 miliar batang, sedangkan produksi 2018 mencapai 65,81 miliar batang. Dalam periode 2013 hingga 2018, 32.000 orang pekerja di sektor itu terpaksa kehilangan pekerjaan. Sebab, pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tutup.
"Tren penurunan ini berimbas bukan hanya tenaga kerja di industri, namun juga pada petani cengkeh," ucapnya di Menteng Jakarta.
Menurut data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,9 juta orang, terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara itu, 1,7 juta pekerja berada di sektor perkebunan. Selain dari aspek tenaga kerja, industri rokok telah meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal dari hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkeh.
Terkait hal ini, pada 2011 Kementerian Perindustrian juga mencatat ada 2.540 pelaku industri yang memesan cukai produk tembakau. Pada 2017, pemesannya tersisa 487 saja alias berkurang lebih dari 2.000 pelaku industri. Hal tersebut, berimbas luas bagi para pekerja sektor IHT yang lantas kehilangan pekerjaan.
Baca Juga: Miris! Pengangguran Perkotaan Lebih Besar dari Pedesaan
Novelis Ratih Kumala, penulis buku Gadis Kretek, mengatakan, pekerja SKT pada umumnya adalah perempuan. Pekerja perempuan di SKT bekerja sebagai pelinting dan tukang batil. Para pelinting membawa keponakannya untuk bekerja sebagai tukang batil yang merapihkan lintingan SKT setelah dilinting oleh pelinting.
"Para pelinting dalam satu tim dapat menghasilkan 1000 batang SKT dalam 1 jam," ucapnya.
Dia menjelaskan, pendapatan para pelinting dari tahun ke tahun mengalami penurunan karena jumlah produksi SKT terus menurun. "Pendapatan mereka pun menurun 1,2% dari tahun ke tahun," terang Ratih.
?Di banyak tempat, pekerja IHT SKT adalah perempuan yang sekaligus menjadi sumber utama penghasilan keluarga. Jika mereka tidak bekerja, maka keluarga tidak punya penghasilan. Pendidikan yang relatif rendah serta keterbatasan keterampilan menjadi faktor yang menyebabkan sulitnya mereka terserap sebagai tenaga kerja di sektor lain.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: