Para pemangku kepentingan sepakat untuk menjadikan scientific evidence (bukti ilmiah) sebagai dasar dari legal evidence (bukti hukum) dalam penyelesaian perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Hal ini agar masyarakat dan korporasi tidak lagi menjadi korban putusan hukum yang salah serta hanya berdasarkan tekanan kelompok tertentu dan LSM.
Demikian benang merah yang mengemuka dalam The 2nd International Conference on Natural Resources Environmental Conservation bertema Industrial Forest and Oil Palm Plantation Fire, Impacts and valuation of the Environmental Losses di Bogor, Jumat (29/11/2019).
Baca Juga: Kabut Asap Karhutla Kembali Selimuti Sumsel, Separah Apa?
Musdalifah Mahmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan, pihaknya setuju dengan penegakan hukum dalam penyelesaian kasus karhutla, namun penyelesaiannya di persidangan tetap harus melalui bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Scientific evidence sangat penting sebagai dasar penyelesaian sengketa kahutla agar putusan hukumnya punya rasa keadilan. Selama bertahun-tahun, penyelesaian karhutla hanya sepihak yakni menggiring opini bahwa perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri sebagai penyebab utama karhutla," kata Musdalifah.
Menurut Musdalifah, karhutla di Indonesia tidak terkait dengan pembukaan lahan sawit. Selain faktor manusia, bencana alam seperti el Nino serta peran dari tanggung jawab pengelola kawasan menjadi penting dalam penanganan karhutla.
Selama ini, ungkap Musdalifah, hanya karena sentimen kelompok tertentu, semua kesalahan ditimpakan pada satu pihak yakni industri sawit. Pihak-pihak ini perlu memahami bahwa Indonesia perlu membangun aktivitas industrinya melalui sawit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Sebagai pemerintah, saya punya kepentingan untuk menjaga pertumbuhan sawit nasional," kata Musdalifah.
Kemenko, kata Musdalifah, mengusulkan agar penyelesaian karhutla bisa diprioritaskan pada deteksi dini (early warning) dan pencegahan. Kalau melihat polanya, umumnya karhutla terjadi dalam 3-4 bulan dalam setahun.
Seharusnya delapan bulan tersisa dimanfaatkan untuk membangun klaster pengendalian karhutla dengan melibatkan masyarakat. Kebakaran tidak sekadar mematikan api, kemudian mencari tersangka dan menghukumnya.
Baca Juga: Uni Eropa Gelontorkan ?24 Juta buat Tangani Karhutla Asean
"Perlu dipertimbangkan, suatu kawasan terkelola dengan baik agar kebakaran tidak perlu terjadi berulang," kata dia.
Pentingnya bukti ilmiah juga dikemukakan Dirjen Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani yang diwakili Direktur Penegakan Hukum Pidana Ditjen Gakkum LHK Yazid Nurhuda. Menurutnya, pembuktian ilmiah sebagai dasar dan bukti hukum dalam konteks beracara di pengadilan agar jadi solusi dalam penyelesaian karhutla di Indonesia. Karena itu, peran dari para saksi ahli, yakni para akademisi menjadi sangat penting.
"Berdasarkan sampel hasil uji laboratorium, saksi ahli akan menetapkan scientific evidence?menjadi legal evidence melalui surat keterangan saksi ahli. Hal ini akan menjamin kepastian hukum," ujar dia.
Sementara Wakil Rektor IPB Prof Agus Purwito mengingatkan perlunya kajian berbasis data ilmiah untuk menyelesaikan kasus kebakaran hutan di Indonesia. Kajian ilmiah diperlukan agar berbagai persoalan yang jadi penyebab kebakaran bisa diselesaikan.
"Karhutla di Indonesia tidak hanya merugikan dari sisi investasi, tetapi banyak hal seperti kesehatan manusia dan hubungan antara negara," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: