Kenalkan, 10 Remaja Keren di Davos 2020. Ada dari Indonesia Loh!
Ada 10 remaja keren yang punya keprihatinan sama pada masa depan mereka. Mereka ambil bagian di Forum Pertemuan Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, 21-24 Januari 2020. Menyuarakan persoalan yang dihadapi dunia. Dari soal kekerasan bersenjata hingga perubahan iklim. Siapa sih mereka?
Greta Thunberg (17)
Siapa tak kenal Greta. Aktivis lingkungan remaja dari Swedia. Di usia 8 tahun, ia menonton film dokumenter tentang perubahan iklim di sekolah. Begitu paham apa itu krisis iklim, ia berhenti makan, berhenti bicara. Greta depresi.
Akhirnya mencari informasi tentang perubahan iklim dan penyebabnya. Lalu, mulai mengubah kebiasaannya, mengurangi jejak karbon dalam kesehariannya.
Baca Juga: Konferensi Iklim PBB Tak Ada Kejelasan, Ke Mana Arah Penyelesaian Masalah Iklim Global?
Pada 2018, ia memulai aksi protes di depan gedung Parlemen Swedia pada jam sekolah sambil membawa papan bertuliskan: Mogok Sekolah untuk Iklim. Ia melanjutkan aksinya setiap Jumat. Aksinya itu menginspirasi ratusan ribu anak di dunia yang mengikuti langkahnya.
Autumn Peltier (15)
Gadis Indian klan Elang Anishinabekwe dari First Nation Wiikwemkoong di Ontario Utara, Kanada. Autumn telah menjadi 'pejuang air' sejak usia 8 tahun. Sejak itu, ia mulai memahami bahwa ia tak bisa minum karena air mereka telah terkontaminasi akibat aktivitas industri dan pipa minyak.
Tahun lalu, Autumn dinamakan Ketua Komisioner Air oleh bangsa Anishinabek, mewakilli 40 First Nation di Ontario yang kekurangan air bersih.
Ayakha Melithafa (17)
Ibunya petani di Western Cape, Afrika Selatan, di mana kekeringan dan kekurangan air mengancam kehidupan. Kondisi ini mendorong Ayakha untuk melakukan aksi. Ia memobilisasi dukungan untuk pembangunan berkarbon rendah dan transisi energi di negaranya.
Tahun lalu, ia dan 15 anak di dunia menyampaikan petisi ke Komite Hak Anak di PBB untuk menahan lima negara pemimpin ekonomi dunia agar bertanggung jawab atas ketidakpedulian mereka pada krisis iklim.
Cruz Erdmann (14)
Cruz tinggal di New Zealand. Namun lahir dan besar di Bali. Menghabiskan banyak waktu untuk menyelam dan mengeksplorasi Indonesia bagian Timur. Orangtuanya adalah konservasionis laut.
Sejak usia 10 tahun ia sudah menyelam lebih dari 160 kali dan memotret bawah laut sejak umur 12 tahun. Tahun lalu, Cruz mendapat penghargaan Young Wildlife Photographer of the Year dari London's Natural History Museum.
Melati Wijsen (19)
Melati tumbuh di Bali, Indonesia, pulau di mana sampah plastik menjadi epidemik. Masa kanak-kanaknya banyak dihabiskan dengan berenang di laut. Ia pernah keluar dari laut dengan sampah plastik membungkus tangannya.
Terinspirasi dari para pemimpin dunia berpengaruh, Melati mendirikan Bye Bye Plastic Bags bersama adiknya. Ia mengorganisasi petisi, melakukan kampanye, dan membersihkan pantai. Berkat Melati, Bali melarang penggunaan plastik sekali pakai. Melati dan adiknya menjadi salah satu Remaja Paling Berpengaruh versi majalah Time dan Young Wonders CNN pada 2018.
Fionn Ferreira (18)
Fionn tumbuh di pulau terpencil di West Cork, wilayah pinggir laut di Selatan Irlandia. Menghabiskan waktunya membuat proyek sekolah dan keliling pantai dengan kayak. Ia menyaksikan dampak polusi mikroplastik pada lingkungan.
Di SMA, ia menemukan metode baru mengekstrasi mikroplastik dari air memakai ferrofluid versinya sendiri, cairan yang dikembangkan NASA. Fionn memperkenalkan konsepnya di Google Science Affair 2019. Ia menang berkat metodenya menghilangkan mikroplastik dari air.
Mohamad Al Jounde (18)
Besar di Suriah, tapi pindah ke Libanon karena hidupnya terancam. Seperti ribuan pengungsi anak di negaranya, Mohamad tak bisa ke sekolah. Bersama keluarganya mendirikan sekolah di kamp pengungsi. 200 anak mendapat akses pendidikan berkat Mohamad.
Ia membantu anak-anak memulihkan diri, belajar, dan bersenang-senang dengan games dan fotografi. Mohamad dianugerahi International Children?s Peace Prize pada 2017 dan MTV?s Generation Change Award 2018.
Naomi Wadler (13)
Aktivitasnya bermula ketika memimpin aksi walk-out di SD-nya di Virginia, AS sebagai peringatan satu bulan peristiwa penembakan di SMA Marjory Stoneman di Parkland, Florida. Aksinya berlangsung 18 menit --17 menit untuk setiap murid dan guru yang tewas dan 1 menit untuk Courtliin Arrington, murid Afro-Amerika yang dibunuh di SMA Alabama.
Misinya memberdayakan anak-anak perempuan Afro-Amerika dan berharap banyak orang bergabung untuk mengingat korban kekerasan bersenjata.
Natasha Mwansa (18)
Lahir dan besar di Zambia, Natasha mengadvokasi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak, khususnya melawan pernikahan anak. Sebagai jurnalis junior, ia merasa punya tanggung jawab sosial mengumpulkan dan berbagi informasi mengenai hak perempuan dan anak perempuan.
Baca Juga: Perubahan Iklim Diprediksi Bakal Hantam Ekonomi Global
Ia mendirikan Yayasan Matasha Mwansa untuk memberi tahu dunia bahwa anak muda harus sehat, bernilai, dan didengar. Ia terpilih menjadi bagian dari the African Commission?s Youth Advisory Board dan penerima termuda World Health Organization?s Global Health Leaders Award.
Salvador Gomez-Colon (17)
Saat Badai Maria menghancurkan Puerto Rico pada 2017, Salvador diminta untuk menghadapi kemungkinan tak ada listrik selama setahun. Ia lalu membuat Light and Hope for Puerto Rico, kampanye untuk mendistribusikan lampu bertenaga solar, mesin cuci bertenaga manusia, dan kebutuhan lainnya kepada 3.100 keluarga di pulau itu.
Ia terpilih menjadi salah satu dari 30 Remaja Paling Berpengaruh 2017versi majalah Time dan menerima President?s Environmental Youth Award dari Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat dan the Diana Award untuk kerja kemanusiaannya pada 2019.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lili Lestari
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: