Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sustainable dengan Integrasi Sawit-Sapi, Emang Bisa?

        Sustainable dengan Integrasi Sawit-Sapi, Emang Bisa? Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pengembangan pertanian berkelanjutan khususnya bagi industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia bukan lagi sekadar isu atau isapan jempol semata. Biro Perencanaan Kementerian Pertanian melalui Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) tahun 2013?2045 mengarahkan pembangunan pertanian Indonesia pada pertanian bioindustri berkelanjutan.

        SIPP itu mengandung beberapa prinsip dasar seperti berkelanjutan, berbasis masyarakat, lingkungan alam, pelaku agribisnis, berorientasi pengembangan usaha pertanian rakyat, serta berbasis sumberdaya lokal. Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga concern pada pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) dalam bentuk Perpres Nomor 59 Tahun 2017.

        Baca Juga: Uni Eropa Persulit Ekspor Sawit RI, Airlangga: Ini Tak Bisa Dibiarkan

        Luas tutupan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 ditetapkan 16,38 juta hektare dengan Provinsi Riau memiliki lahan sawit terluas yakni 3,38 juta hektare.

        Sebagai incredible tree, bagian tanaman sawit seperti pelepah daun serta cangkang inti sawit berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi pakan ternak karena mengandung protein kasar sekitar 15%. Kelapa sawit dapat menghasilkan pelepah daun sebanyak 40?60 pelepah/pohon/tahun apabila tidak dilakukan pemangkasan dengan berat berkisar 7 kg/pelepah. Sementara TKKS (tandan kosong kelapa sawit) dihasilkan sebanyak 23% dari produksi sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pupuk organik dan asap cair.

        Integrasi sawit-sapi di Provinsi Riau merupakan salah satu usaha untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan, peningkatan pendapatan, dan menjaga kualitas lingkungan. Model pertanian bioindustri sawit-sapi yang diterapkan adalah sistem simbiosis mutualisme antara tanaman sawit dan sapi.

        Pelepah dan bungkil sawit diolah menjadi pakan ternak, TKKS sawit dimanfaatkan dalam pembuatan asap cair untuk mengendalikan hama di ternak, dan limbah ternak yang difermentasi dapat dijadikan sebagai pupuk organik tanaman sawit. Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Riau melaporkan bahwa dengan memanfaatkan kompos sapi sebagai penyubur tanaman sawit maka akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik sebanyak 50%.

        Kelompok tani di Riau yang memiliki 8 ekor sapi menghasilkan kotoran sebanyak 48?64 kg/hari atau sekitar 1.440 kg/bulan. Apabila diolah menjadi pupuk kompos dengan menambahkan TKKS, kelompok tani ini mampu menghasilkan pupuk kompos sebanyak 1.500 kg/bulan.

        Apabila hasil pembuatan kompos tersebut dikomersilkan, kelompok tani akan memperoleh pendapatan tambahan sebanyak 3 juta rupiah dengan harga jual Rp2.000/kg. Sementara asap cair TKKS bermanfaat untuk meningkatkan kualitas tanah dan menetralisir asam tanah, membunuh hama tanaman, dan mengontrol pertumbuhan tanaman, serta pengusir serangga.

        Dampak lain dari model pertanian bioindustri terhadap tanaman sawit yakni adanya peningkatan produktivitas sebesar 37% dan biaya yang dikeluarkan petani untuk kegiatan pemeliharaan akan makin efisien.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: