Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Omnibus Law Semangatnya Kembali ke Orde Baru

        Omnibus Law Semangatnya Kembali ke Orde Baru Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA) menegaskan norma hukum yang mengarah kepada pemerintahan yang otoriter dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) harus ditolak.

        Tohadi menjelaskan adanya kecenderungan ke arah pemerintahan otoriter itu dimulai dari rumusan norma dalam Pasal 170 Ayat (1) RUU Cipta Kerja.

        "Pasal 170 Ayat (1) RUU Cipta Kerja ada rumusan norma yang menentukan bahwa Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang yang nanti disahkan," kata pengamat politik dan tata negara tersebut, Rabu.

        Baca Juga: Istana Ngaku Tak Tahu Salah Ketik dalam Draft RUU Omnibus Law, Kok Bisa?

        Menurut Tohadi, Pasal 170 Ayat (1) RUU Cipta Kerja itu menggunakan alasan percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagai 'senjata ideologi' yang memberi alasan bagi Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden mengubah undang-undang.

        Padahal, kata Tohadi, negara Indonesia sudah sepakat menganut sistem pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power) dengan mekanisme checks and balances. Dalam sistem seperti ini kekuasaan membentuk UU adalah kewenangan utama legislatif (DPR) dengan persetujuan Presiden.

        "Jadi, bukan kewenangan utama Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden. Rumusan Pasal 170 Ayat (1) RUU Cipta Kerja hendak membalik ke belakang kewenangan Presiden di zaman Orde Baru," katanya.

        Tohadi melanjutkan bahwa ketentuan mengenai perubahan undang-undang (UU) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) ada pada Pasal 170 Ayat (2) RUU Cipta Kerja. Jadi, rumusan kata Peraturan Pemerintah dalam Pasal 170 Ayat (2) RUU Cipta Kerja sebagai konsekuensi dari rumusan Pasal 170 Ayat (1) sebelumnya, yang menentukan Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang.

        "Instrumen hukum yang dimiliki Pemerintah Pusat atau Presiden kan memang Peraturan Pemerintah. Jadi, soal kekeliruan Peraturan Pemerintah (PP) ini sebagai kekeliruan ikutan dari ayat (1) sebelumnya," kata advokat yang pernah menjadi kuasa hukum Gus Dur tersebut.

        Tohadi mengingatkan semua pihak bahwa lahirnya reformasi untuk mengakhiri kekuasaan pemerintahan yang otoriter.

        "Jadi, rumusan norma dalam RUU Cipta Kerja yang mengarah ke pemerintahan otoriter harus ditolak. Presiden dan DPR harus merevisi total ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja," katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: