Sebaran pandemi virus corona (Covid-19) semakin memprihatinkan. Untuk mengantisipasi semakin banyaknya warga yang terjangkit, pemerintah melalui Permenkes 9/2020 akhirnya melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta. Dampak terhadap ekonomi dipastikan akan semakin parah.
Sejak adanya anjuran untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, aktivitas di jalan menurun drastis. Berkurangnya aktivitas di luar rumah sangat dirasakan oleh pekerja non-formal, seperti tukang ojek, baik pangkalan maupun dalam jaringan (daring/online).
Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengungkapkan, saat ini semakin banyak ojek online di Jakarta yang tidak lagi menerima order-an. Pasalnya, perkantoran sudah diliburkan, yang berarti barang dan surat yang biasa diantar lewat ojek online berkurang drastis. Banyak restoran di ibu kota, tempat ojek online menggantungkan pendapatan dari pesan antar makanan, juga tidak beroperasi.
Baca Juga: Jakarta Lakukan PSBB, Ojol Bisa Dapat BLT Rp100 Ribu, Ini Caranya
"Kita semua tahu berapa (jumlah) pekerja informal, katakanlah pelaku ojek online, di Jakarta dan sekitarnya saja jumlahnya mencapai ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan. Dengan hilangnya pekerjaan mereka, dampak sosial akan lebih luas lagi, ditambah latar belakang pekerja informal yang kebanyakan perantau dan menggantungkan hidup di jalanan," papar Bhima.
Menurut Bhima, pemerintah jelas sangat terlambat mengucurkan bantuan. PSBB sudah diteken dulu dan mendapat restu dari Kementerian Kesehatan, sedangkan persiapan untuk jaring pengaman masih menemui masalah, yakni soal data. Kalaupun pemerintah telah menerbitkan Perpu dan Perpres dengan detail anggaran untuk alokasi bantuan, sepertinya banyak kelas kelompok rentan miskin, seperti tukang ojek yang belum dimasukkan.
Dalam paket stimulus Rp405 triliun, secara spesifik perlindungan sosial mendapat jatah Rp110 triliun meliputi PKH, sembako, kartu prakerja, dan pembebasan tarif listrik. Dari paket ini, banyak kelompok yang sebetulnya masuk dalam kategori miskin, tapi tidak terdata. Seperti pekerja informal yang tinggal dikontrakan dengan meteran listrik 1.300 VA.
Riset Bank Dunia berjudul Digital Divide and Dividends yang dipaparkan oleh Deepak Mishra cukup tepat menggambarkan situasi yang gagap teknologi. Meskipun jumlah pengguna internet meningkat tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir, namun 60% kelompok terbawah masih offline. Para pekerja ojek online, menurut Bhima, kebanyakan datang dari masyarakat yang sebelumnya gagap teknologi (gaptek), yang dipaksa oleh keadaan untuk mempelajari aplikasi.
Tidak hanya itu, banyak juga pekerja informal yang tidak masuk kriteria dalam bantuan lainnya, seperti kartu prakerja. Menurut Bhima, kartu prakerja tidak cocok dalam kondisi bencana. Kelompok rentan miskin, pedagang asongan, UMKM, tidak butuh pelatihan. Mereka membutuhkan cash transfer atau bantuan tunai.
Baca Juga: EIU Ramal Ekonomi Global Kontraksi hingga 2,5%
"Langsung saja uang ditransfer, toh bagi driver ojek online, semua nama dan alamat serta titik lokasi sudah disetor ke pihak aplikator. Pemerintah tinggal kerja sama dengan aplikator untuk mengirimkan uang langsung ke rekening masing-masing, apa repotnya? Kartu prakerja juga tidak menjamin mereka yang lulus, kemudian langsung diterima kerja. Apakah di tengah kondisi krisis ekonomi ada industri yang berbaik hati mau menampung jutaan peserta kartu prakerja?" urai Bhima.
Bantuan terakhir, soal Program Kartu Harapan (PKH), banyak pekerja informal yang juga tidak bisa mendapatkannya. Sebab PKH hanya untuk kelompok tertentu, istrinya bukan difabel, bukan berada di garis kemiskinan. Padahal hanya menghitung hari para pekerja informal akan berada di bawah garis kemiskinan, tapi apa lacur data soal turunnya pendapatan yang cepat di tengah corona tidak langsung masuk data pemerintah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti