Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Corona Tewaskan 200.000 Orang di Seluruh Dunia, AS Pimpin 5 Negara dengan Kematian Tertinggi

        Corona Tewaskan 200.000 Orang di Seluruh Dunia, AS Pimpin 5 Negara dengan Kematian Tertinggi Kredit Foto: Reuters/Lucas Jackson
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Lebih dari 200.000 orang di seluruh dunia telah meninggal akibat Covid-19, berdasarkan data Johns Hopkins University. Menurut data tersebut, kasus positif virus corona di seantero dunia telah melampaui 2,8 juta.

        Angka ini mengemuka setelah Amerika Serikat mencatat jumlah kematian yang melampaui 50.000 jiwa dua kali lipat dari jumlah kematian Italia yang menempati peringkat dua dalam daftar negara dengan angka kematian terbanyak.

        Baca Juga: Allahu Akbar! Hikmah Dahsyat Corona: Sejak Gema Pertama dalam Sejarah, Azan Terus Berkumandang di AS

        Secara keseluruhan ada lima negara yang melaporkan angka kematian di atas 20.000 jiwa, yakni AS, Italia, Spanyol, Prancis, dan Inggris. Bagi Inggris, angka kematian yang melampaui 20.000 jiwa dilaporkan tercapai pada Sabtu (25/04/2020). 

        Menteri Dalam Negeri Inggris, Priti Patel, menyebut angka itu adalah "tonggak bersejarah yang tragis dan mengenaskan". Menurutnya, "seluruh bangsa berduka".

        Departemen Kesehatan Inggris mencatat jumlah kematian akibat Covid-19 berdasarkan angka-angka yang dilaporkan rumah sakit. Data itu tidak memasukkan orang yang meninggal di rumah atau di panti jompo sehingga angka sebenarnya jauh lebih tinggi.

        Baca Juga: Keren Parah Sih! Ini Lho 5 Robot Buatan Indonesia untuk Lawan Corona

        Prancis, yang memasukkan korban Covid-19 di rumah sakit dan di panti jompo dalam datanya, mengatakan jumlah kematian bertambah 369 orang pada Sabtu (25/04/2020).

        Total terdapat 22.614 orang yang meninggal dunia akibat Covid-19 di Prancis sejak awal Maret lalu. Namun, pihak berwenang mengatakan angka kematian di rumah sakit menurun dan jumlah pasien yang dirawat di unit perawatan intensif telah menurun selama 17 hari berturut-turut.

        Kenaikan di sejumlah wilayah

        Apabila tren kematian di Prancis menurun, tidak demikian halnya di Afrika, Eropa Timur, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tren kasus virus corona di kawasan-kawasan tersebut justru sedang naik.

        "Dan di sejumlah (negara) yang terdampak pandemi pada tahap awal, kini menyaksikan kebangkitan kasus-kasus (virus corona)," kata Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

        Baca Juga: Bukan Asia atau Eropa, WHO: Benua Ini Bakal Jadi Pusat Pandemi Corona, 300 Ribu Jiwa Akan Mati

        Negara yang masuk kategori tersebut adalah Singapura. Awalnya Singapura mendapat sanjungan karena dinilai berhasil menghentikan laju penyebaran virus corona, namun akhir-akhir ini jumlah kasus positif bertambah yang terkait dengan lokasi proyek industri dan asrama pekerja bangunan.

        Negara Asia lainnya, seperti China dan Korea Selatan, mencatat angka kematian nihil.

        Pada Sabtu (25/04/2020), pemerintah China melaporkan tidak ada kematian akibat Covid-19 selama 10 hari berturut-turut, sedangkan Korsel memasuki hari kedua tanpa kematian terkait virus corona.

        Meski sejumlah negara mencatat penurunan kasus, bukan berarti mereka dapat menyerahkan "paspor kekebalan tubuh" atau "sertifikat kebal virus corona" kepada warganya sebagai cara untuk melonggarkan karantina wilayah alias lockdown, sebut WHO.

        Baca Juga: Jangan, Jangan Bawa Corona ke Kampung

        Organisasi itu menegaskan bahwa "belum ada bukti" orang-orang yang membangun antibodi setelah sembuh dari virus corona benar-benar aman dari serangan virus corona untuk kedua kali.

        "Saat ini belum ada bukti bahwa orang-orang yang sembuh dari Covid-19 dan memiliki antibodi, terlindung dari penularan kedua," sebut WHO dalam catatannya.

        Sebagian besar kajian yang telah dijalankan sejauh ini menunjukkan orang-orang yang telah sembuh dari Covid-19 memiliki antibodi dalam darah mereka—namun sebagian dari mereka punya antibodi berkadar rendah.

        Hingga Jumat (24/04), menurut WHO, belum ada kajian yang mengevaluasi apakah keberadaan antibodi pada virus corona menimbulkan kekebalan terhadap penularan virus tersebut untuk kedua kalinya.

        "Pada tahap ini, belum ada cukup bukti mengenai efektivitas antibodi untuk menjamin akurasi `paspor imunitas` atau `sertifikat bebas risiko`," sebut WHO.

        Baca Juga: Sangsi ke WHO, Pentagon Terus Gali Dugaan Covid-19 Senjata Biologis Musuh AS

        WHO juga mengatakan rangkaian uji laboratorium untuk mendeteksi antibodi perlu divalidasi lebih lanjut untuk menentukan akurasinya dan membedakan penularan virus SARS-CoV-2—yang menyebabkan Covid-19—dengan enam virus corona lainnya yang terlebih dulu menyebar.

        Negara mana yang mempertimbangkan untuk membuat `paspor kekebalan`?

        Pekan lalu, Chile menyatakan akan mulai merilis "paspor kesehatan" kepada orang-orang yang dianggap telah pulih dari Covid-19 dan kebal pada virus corona.

        Begitu antibodi pada tubuh mereka terlacak, mereka bisa bekerja kembali, kata sejumlah pejabat.

        Di Swedia, yang memilih membebaskan sebagian besar masyarakat, beberapa ilmuwan meyakini taraf kekebalan tubuh pada penduduk akan jauh lebih tinggi dibanding mereka yang ditempatkan dalam karantina wilayah.

        Akan tetapi, Anders Wallensten dari Badan Kesehatan Masyarakat Swedia, mengatakan kepada BBC bahwa kekebalan tubuh belum diketahui secara mendalam.

        "Kami akan tahu lebih banyak setelah makin banyak orang yang diuji antibodinya, makin panjang waktunya, dan makin banyak laporan penularan kembali yang dilaporkan," ujarnya.

        Baca Juga: Pakar Identifikasi Serangan Phising Paling Banyak Incar WHO dan Pemerintah AS karena...

        Di Belgia, yang jumlah kematian per kapitanya salah satu yang tertinggi namun berencana melonggarkan karantina wilayah pada 11 Mei, salah satu penasihat pemerintah mengatakan kepada BBC bahwa dia sangat menentang gagasan paspor kekebalan tubuh.

        "Saya menentang pemberian paspor kepada orang-orang, yang hijau atau yang merah, tergantung pada status serum darah mereka," ujar Professor Marc Van Ranst, pakar virologi sekaligus anggota Kelompok Peninjau Risiko serta Komite Sains mengenai Virus Corona.

        "Hal ini akan mendorong pemalsuan, yang membuat orang-orang bersedia menularkan virus pada diri mereka. Ini bukan ide bagus. Ini ide yang sangat buruk."

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: