Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tekanan Ekonomi Selama Pandemi Corona Ancam Kesejahteraan 800 Juta Orang di Dunia

        Tekanan Ekonomi Selama Pandemi Corona Ancam Kesejahteraan 800 Juta Orang di Dunia Kredit Foto: Reuters/Carlos Garcia Rawlins
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Virus corona mengancam kesejahteraan 800 juta orang di seluruh dunia yang tergantung pada uang yang dikirim oleh anggota keluarga mereka yang bekerja di luar negeri.

        Lebih dari 200 juta pekerja migran mengirim uang kepada keluarga mereka di negara asal, kata PBB. Dan uang itu disebut remitansi.

        Namun tahun ini, karena pandemi, nilai pengiriman uang oleh pekerja migran, menurut Bank Dunia, akan mengalami "penurunan paling tajam dalam sejarah modern".

        Pengiriman uang dari para tenaga kerja migran ke keluarga mereka di negara-negara dengan pendapatan rendah hingga menengah diperkirakan akan turun dari 554 miliar dolar AS atau sekitar Rp8,258 triliun pada tahun 2019 menjadi 445 miliar dolar AS atau Rp6,632 triliun, kira-kira turun 20%.

        Bank Dunia mengatakan hal ini terjadi "terutama karena penurunan gaji dan penurunan jumlah pekerja migran yang benar-benar bekerja."

        Ditambahkan, para pekerja migran cenderung lebih rentan kehilangan pekerjaan dan upah dalam krisis ekonomi di negara yang ditempatinya."

        Rata-rata remitansi berkisar antara 200-300 dolar AS (Rp2,9 juta-Rp4,5 juta) cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga selama satu bulan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.

        Tanpa tali pertolongan yang penting ini, "kita menghadapi masa depan yang suram bagi jutaan orang," kata Delphine Pinault, dari CARE International, lembaga amal yang mengadakan proyek-proyek untuk memerangi kemiskinan di hampir 100 negara.

        Lalu bagaimana warga mengatasi kesulitan ini? Berikut kisah beberapa orang yang terdampak.

        Dari Malaysia ke Indonesia: Sumarno

        Sejak diberlakukan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) atau semacam pembatasan pergerakan di Malaysia mulai tanggal 18 Maret lalu, praktis sumber penghasilan Sumarno kering.

        Pria asal Jawa Tengah itu adalah pekerja migran Indonesia yang punya keahlian dalam bidang kelistrikan.

        Dengan gaji harian, jasanya biasanya diperlukan di berbagai tempat, mulai dari rumah, pabrik hingga bangunan.

        "Secara ekonomi jelas pengaruh, sebab dengan adanya sistem PKP dari tanggl 18 Maret sampai sekarang tidak diperbolehkan bekerja, sedang untuk pekerja harian itu ada kerja ada gaji, jadi untuk waktu tersebut tidak dapat penghasilan langsung," tuturnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, pada Selasa (12/5/2020).

        Hasilnya cukup untuk menghidupi anak dan istrinya di Malaysia, selain dikirim ke Indonesia untuk lima anggota keluarga; kedua orang tuanya, kedua mertuanya dan seorang anak yang sekolah di SMK.

        Jika ditotal, Sumarno biasanya mengirim Rp3 juta per bulan.

        "Kita tidak ada penghasilan, jangankan untuk menanggung keluarga, untuk menanggung diri sendiri saja banyak yang kebingungan," kata Sumarno.

        Menurut Nasrikah, seorang aktivis pekerja migran di Malaysia, apa yang dialami oleh Sumarno jamak terjadi di kalangan tenaga kerja Indonesia dan imbasnya adalah keluarga mereka.

        "Tentunya sangat sulit juga untuk keluarga di Indonesia. Karena untuk nasib pekerja sendiri sekarang juga sangat tidak baik."

        Dari Lebanon ke Sri Lanka: Chandra

        Chandra Naayage (52), bekerja sebagai petugas kebersihan di Lebanon selama lebih dari 15 tahun. Ia mengirimkan gajinya ke Sri Lanka untuk membantu suaminya, seorang petani teh, dua putrinya dan seorang putranya.

        Chandra biasanya mengirimkan sekitar 400 dolar AS atau kira-kira Rp6 juta untuk keluarganya setiap bulan.

        Uang itu antara lain digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah dan menguliahkan dua putrinya. Sekarang mereka telah berumah tangga.

        Tetapi sejak Oktober tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Lebanon mandek dan negara itu mengalami kekacauan.

        Mata uang pound Lebanon turun tajam terhadap dolar Amerika Serikat --mata uang yang digunakan untuk mengirimkan uang pulang-- sekarang sulit didapat. Kondisi itu juga membuat Chandra harus mengeluaran lebih banyak uang pound untuk membeli dolar dibanding sebelumnya.

        Layaknya pekerja rumah tangga dari Asia, Chandra bekerja untuk beberapa rumah di Lebanon dengan tarif 10.000 pound Lebanon. Biasanya ia bisa mengantongi 6,50 dolar AS untuk setiap 10.000 pound tetapi sekarang nilainya turun menjadi sekitar 2,50 dolar AS.

        Di masa pandemi, para majikan tidak mengizinkan orang dari luar unit rumah tangga mereka masuk ke rumah. Akibatnya, Chandra tak punya pekerjaan dan tak mampu mengirim uang untuk keluarganya.

        Chandra menyewa tempat bersama dua perempuan lain dan mereka terpaksa meminta bantuan makanan. Ia khawatir tidak akan mampu menguliahkan putranya yang berusia 19 tahun.

        "Bekerja di Lebanon sebelumnya enak, karena kami tidak akan mendapatkan upah sebesar itu di Sri Lanka. Saya melakukan banyak hal untuk keluarga saya," kata Chandra kepada BBC.

        "[Sebelum Covid-19] Saya memutuskan untuk bekerja selama satu atau dua tahun lagi, karena saya ingin hidup bersama keluarga saya. Tetapi jika kondisi tidak membaik, kami tidak bisa tinggal di Lebanon."

        Dari Amerika Serikat ke Somalia: Abdi

        Abdi Duale (40) tinggal bersama istri, lima anak dan keluarga besarnya di pinggiran kota Mogadishu.

        Kawasan itu menjadi sasaran serangan kelompok militan, dan demi keselamatannya, Abdi meminta BBC untuk tidak menerbitkan fotonya.

        Kakak Abdi, yang paling tua, tinggal di Minnesota, Amerika Serikat dan bekerja sebagai sopir truk.

        Ia meninggalkan Somalia tahun 2007 dan tiba di Amerika Serikat dengan melewati Africa Selatan, Brasil dan Meksiko.

        Sebelum krisis, abang Abdi mengirim uang US$400 (sekitar Rp6 juta) untuk keluarganya di Somalia, sebagian besar kiriman uang itu untuk istri dan anaknya, dan untuk orang tuanya.

        Tetapi sejak Covid-19, jutaan orang kehilangan pekerjaan di Amerika Serikat, dan tidak ada sisa uang untuk dikirim pulang.

        "Sebelum penyakit ini, kakak saya bisa menghidupi kami semua. Sekarang ia mengatakan ia berdoa agar situasi ini kembali normal," ungkap Andi kepada BBC.

        Jasa pengiriman barang dengan truk tetap berjalan di Amerika Serikat selama pandemi tetapi pendapatan abang Abdi telah terdampak.

        Sampai tiga bulan lalu, Abdi menjalankan kursus bahasa Inggris. Tetapi tempat kursus itu sekarang tutup karena jumlah pesertanya tidak mencukupi, dan banyak orang tua menunggak iuran.

        Keluarga Abdi membeli bahan pokok dengan meminjam dari para pemilik toko dan akan membayarnya jika situasi membaik.

        Namun toko-toko kecil juga mengalami kesulitan karena banyak pembeli mengutang.

        "Jika situasi membaik di sini, dan saya bisa mendapatkan pekerjaan, maka kehidupan akan berlanjut," kata Abdi.

        Remitansi 'akan turun di semua kawasan'

        Menurut Bank Dunia, penurunan pengiriman uang dari luar negeri akan dirasakan dampaknya di semua kawasan.

        Bank Dunia mengatakan penurunan pengiriman remitansi akan dirasakan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di seluruh penjuru dunia.

        Sejumlah negara sangat tergantung pada kiriman devisa dari luar negeri. Misalnya di Haiti dan Sudan Selatan, remitansi mencapai sepertiga produk domestik bruto, 27% di Nepal dan sekitar 8% di Sri Lanka dan Pakistan.

        Di masa lalu, uang diaspora ini menjadi penopang masyarakat di negara-negara yang perekonomiannya tumbuh pesat terhadap goncangan krisis. Uang itu menjadi semacam "polis asuransi", kata Dilip Ratha, ekonom utama untuk migrasi dan remitansi di Bank Dunia.

        Selama krisis tahun 2008, misalnya, devisa itu menjadi "tali penolong yang penting" bagi keluarga, jelas Ratha.

        Penurunan pengiriman sebesar 6% pada tahun 2009 diimbangi dengan pemulihan sebesar itu pula pada tahun berikutnya.

        Namun kali ini pemulihan penurunan pengiriman uang dari luar negeri akan memerlukan waktu bertahun-tahun, karena sebagian besar wilayah dunia dikarantina dan diberlakukan pula larangan beperian sehingga menimbulkan serangkaian tantangan baru, di samping penurunan ekonomi.

        "Di masa lalu, orang biasanya membawa langsung uang tunai ketika pulang atau menitipkannya kepada orang lain untuk keluarga di rumah. Tetapi itu sekarang tidak mungkin," kata Ratha kepada BBC.

        Menurutnya, pemerintah di masing-masing negara dapat mengambil langkah untuk membantu. Pemerintah dapat menggolongkan jasa remitansi sebagai layanan esensial sehingga tempat-tempat penerimaan dan pengiriman uang tetap buka.

        Pemerintah juga dapat mengendorkan persyaratan yang menyulitkan pekerja migran. Ratha menyebut adanya peraturan larangan pencucian uang, tetapi sejauh ini tidak ada bukti bahwa remitansi digunakan untuk mencuci uang.

        Bank Dunia telah lama menyerukan kepada negara-negara untuk memangkas ongkos pengiriman uang yang ata-rata di dunia berkisar 7%.

        Delphine Pinault, dari CARE International, mengatakan penurunan remitansi memukul negara-negara yang miskin, dan berpengaruh besar bagi perempuan.

        "Perempuan lebih mungkin bekerja secara informal dan bergaji rendah --seringkali tanpa jaminan upah-- dan tergantung pada remitansi dan bantuan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga," katanya.

        "Kita tidak bisa mengabaikan penderitaan negara-negara lebih miskin dan lebih lemah yang sangat memerlukan bantuan negara-negara maju untuk menunjukkan solidaritas kepada mereka."

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: