Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Rupanya Ini Alasan Anies Tagih Dana Bagi Hasil ke Sri Mulyani

        Rupanya Ini Alasan Anies Tagih Dana Bagi Hasil ke Sri Mulyani Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Buat Indonesia, kejadian pandemi seperti wabah virus corona memang baru pertama kali terjadi. Virus penyakit yang dapat menular antarmanusia dengan cepat dan mematikan ini memang membuat kalang kabut semua pihak.

        Sehingga harus diakui baik masyarakat maupun pemerintah tidak siap menghadapinya. Koordinasi yang kurang baik antarsesama pejabat pemerintahan malah menimbulkan kegaduhan tersendiri.

        Seperti yang terjadi antara Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman. Ketiganya saling lempar-lemparan terkait pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Jakarta.

        Baca Juga: Vaksin Belum Tersedia, Jangan Arogan Lawan Covid-19!

        Kisruh soal DBH ini bermula saat Menteri Keuangan mengomentari anggaran bantuan sosial (Bansos) untuk warga Jakarta yang terdampak akibat wabah virus Corona (Covid 19). Menurutnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta pemerintah pusat menanggung Bansos untuk 1,1 juta orang. Alasannya, menurut Menkeu, karena keterbatasan dana yang dimiliki Pemprov DKI.

        Sri Mulyani menjelaskan, tadinya untuk tahap pertama pemberian Bansos di Jakarta sudah ada kesepakatan. Pemprov DKI menanggung Bansos untuk 1,1 juta orang dan sisanya 3,6 juta orang ditanggung pemerintah pusat. Nah untuk pemberian tahap kedua Bansos, Pemprov DKI Jakarta meminta semua di-cover pemerintah pusat.

        "Laporan dari Menko PMK, ternyata DKI yang tadinya cover 1,1 juta, mereka tidak punya anggaran dan minta pemerintah pusat yang cover 1,1 juta itu," jelas Sri Mulyani saat rapat virtual bersama Komisi XI DPR, Rabu (6/5/2020).

        Seolah tak terima dikatakan tidak memiliki anggaran, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menagih pencairan DBH sebesar Rp5,1 triliun kepada Kementerian Keuangan. Anies menyebutkan ada piutang Pemprov DKI di Kemenkeu yang harusnya disetorkan Kemenkeu pada 2019.

        Mulanya dana bagi hasil itu senilai Rp6,4 triliun, namun mengalami penyesuaian menjadi Rp5,1 triliun. Menurut Anies, dana tersebut dibutuhkan Pemprov untuk digunakan sebagai penanganan wabah Covid-19. Dana DBH yang ditagih Anies merupakan DBH untuk 2019.

        Lalu, Kemenkeu pun menyampaikan data terkait DBH ini. untuk Jakarta sebanyak Rp 2,6 triliun dari total DBH sudah disetorkan kepada Pemprov DKI Jakarta pada 6 Mei 2020.

        Adapun yang belum dibayarkan akan disalurkan setelah audit BPK selesai lewat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Adapun, total DBH tersebut merupakan relaksasi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 36/OMK.07/2020 tentang Penetapan Alokasi Sementara Kurang Bayar DBH Tahun Anggaran 2020.

        Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan untuk mencairkan DBH ada tata caranya. Mekanismenya adalah pemerintah mencairkan 50% terlebih dahulu karena masih menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mengikuti mekanismenya, maka DBH kurang bayar pemerintah ke daerah dibayarkan pada Agustus atau September tahun berikutnya, setelah selesai audit LKPP oleh BPK.

        Untuk sisa kekuarangan DBH yang belum dibayar, akan dilunasi setelah ada angka resmi kekurangan yang perlu dibayarkan pemerintah ke pemda sesuai hasil audit BPK. Yustinus menegaskan, jangan terkesan Pemprov DKI seperti orang menagih utang jatuh tempo dan belum dibayar. DBH memang hak Pemprov, tapi ada aturan dan mekanismenya yang jelas, sehingga seolah pemerintah pusat itu mengemplang utang.

        Sri Mulyani pun mengamini apa yang disampaikan Yustinus. Stafnya itu mengatakan, pemerintah pusat sudah menyalurkan kurang bayar dana bagi hasil sebesar Rp2,6 triliun kepada Pemprov DKI Jakarta, namun sisanya baru bisa dicairkan setelah audit BPK rampung. "Sisanya kami akan segera, begitu kami sudah menyelesaikan laporan keuangan pemerintah pusat," katanya.

        Tak ingin dianggap sebagai penghalang pencairan DBH Jakarta, Ketua BPK Agung Firman pun ikut bersuara. Menurutnya, tidak ada kaitan antara pemeriksaan BPK dengan pembayaran DBH. Menurutnya, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH. "Tidak ada hubungannya," tegas Agung.

        Ketua BPK menjelaskan, audit yang dilakukan oleh BPK terhadap laporan keuangan yang diserahkan Kemenkeu merupakan pemeriksaan. Sedangkan yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan pengelolaan uang negara. Tidak ada ketentuannya di Undang-Undang Dasar maupun UU terkait pemeriksaan/keuangan negara/perbendaharaan negara yang mengatur pembayaran kewajiban DBH menunggu hasil audit BPK.

        Jadi, silakan saja Kemenkeu untuk membuat keputusan masalah bayar atau tidak bayar di tangan Kemenkeu. Tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan atau audit BPK.

        Defisit APBD

        Di saat pandemi seperti ini DBH memang amat dibutuhkan oleh Pemprov, pasalnya pendapatan Pemprov pun anjlok diterpa corona. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, akibat pandemi ini, pendapatan Pemprov DKI diprediksi turun hingga 53% terutama dari sektor pajak karena pelemahan ekonomi.

        Pemprov DKI Jakarta pun harus putar otak menata ulang struktur APDD 2020. Awalnya APBD DKI 2020 telah ditetapkan sebesar Rp87,95 triliun kini berubah menjadi hanya Rp44,66 triliun. Terkait DBH 2020 yang diterima Pemprov Jakarta juga bakal merosot karena pendapatan pemerintah pusat turun serta adanya kebijakan untuk menangani Covid-19.

        Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2020 yang mengoreksi pendapatan, maka DBU untuk provinsi juga turun. Untuk DKI, kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti, turun dari Rp17 triliun menjadi Rp14 triliun. Astrea pun meminta agar jajaran Pemprov DKI menyesuaikan rancangan APBD 2020 serta 2021 berdasarkan pengurangan ini.

        Baca Juga: Data Pusat: Kasus Covid-19 di Ibu Kota Turun, Anies Skeptis

        Dari hasil rapat DPRD DKI dengan Pemprov DKI Jakarta pada 5 Mei 2020, disepakati Pemprov akan menghapus anggaran gaji ke-13 dan 14 untuk seluruh aparatur sipil negara (ASN). Tunjangan kinerja daerah (TKD) atau tunjangan penghasilan pegawai (TPP) para pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta juga akan dipangkas 50% mulai Mei 2020 ini. Sebagai catatan kebijakan ini masih harus digodok Pemprov DKI dan akan dituangkan ke dalam Peraturan Gubernur (Pergub).

        Pengurangan lainnya dilakukan pada pos belanja barang dan jasa. Semula mencapai Rp23,67 triliun dipotong menjadi Rp11,22 triliun. Pengurangan ini akan berakibat, di antaranya memangkas subsidi untuk PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), PT Mass Rapid Transit (MRT), dan PT Lintas Rel Terpadu (LRT) sebesar 50%.

        Artinya, subsidi untuk Transjakarta dari Rp3,29 triliun menjadi Rp1,97 triliun. Sedangkan subsidi MRT merosot dari Rp825 miliar menjadi Rp412,5 miliar. Lalu subsidi LRT menurun dari Rp439,62 miliar menjadi Rp219,81 miliar.

        Untuk belanja modal Pemprov juga bakal dicukur dari Rp16,08 triliun menjadi tinggal Rp500 miliar. Sementara belanja lainnya semula dianggarkan Rp28,89 triliun, berubah menjadi Rp4,89 triliun.

        DKI Jakarta sebenarnya memiliki APBD terbesar dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. PAD-nya pun selalu yang paling tinggi, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

        Mengutip data dari Badan Pusat Statistik menyatakan, produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta dari sisi lapangan usaha pada 2019 mengandalkan tiga sektor. Perdagangan (17,14%), industri (12,21%), dan konstruksi (11,61%).

        Ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 berlalu membuat tiga sektor itu diprediksi melambat. Saat ini konsumsi pun melemah karena banyak orang melakukan aktivitas di rumah. Hal tersebut menyebabkan APBD DKI Jakarta pun ikut babak belur.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: