Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pilkada di tengah Pandemi, Bagaimana Cara KPU Atur Urusan Teknis?

        Pilkada di tengah Pandemi, Bagaimana Cara KPU Atur Urusan Teknis? Kredit Foto: Antara/Adiwinata Solihin
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia tengah menggodok sejumlah hal  teknis tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan penerapan jaga jarak fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan COVID-19.

        Komisioner KPU Viryan Azis mencoba memberikan gambaran tahapan Pilkada di era pandemi COVID-19.  Dimulai dari tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Menurut Viryan tahapan coklit idealnya memang harus dilakukan dari 'pintu ke pintu' (door to door). Namun di saat kondisi era pandemi saat ini, hal ini tentu berbeda.

        Baca Juga: Anggaran Covid-19 Disalahgunakan Buat Pilkada, DPR Geram: Di Mana Otaknya?

        “Itu idealnya. Tapi pendekatan door to door tidak disebut dalam Undang-Undang, di pasal 57 atau 58 ayat 3 yang disebut adalah melakukan coklit Daftar Pemilih Sementara di wilayah RT/RW yang bersangkutan. Sehingga menjadi relevan, kalau pendekatannya (coklit) digunakan berbasis RT/RW,” ujar Viryan dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Minggu.

        Untuk itu, coklit DPS secara door to door ke depan direncanakan tidak lagi dilaksanakan. oleh karenanya KPU perlu mengubah dua hal. Pertama, kegiatan regrouping Tempat Pemungutan Suara (TPS) setiap Pemilu dan TPS yang berubah-ubah sudah saatnya diakhiri.

        Dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang ada saat ini, sudah saatnya menata manajemen pemutakhiran data pemilih yang lebih baik.

        "Ke depan TPS bersifat permanen. Harapannya TPS berubah bisa dikurangi,” ujar Viryan.

        Terkait pemutakhiran data pemilih di era physical distancing, Viryan mengatakan KPU telah mendapatkan data Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dari pemerintah sebanyak 105 juta. Sedangkan data KPU dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada ada 101 juta. Dalam UU 10/2016, basis pemutakhiran data pemilih adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir.

        Berdasarkan data usai pemilu 2019 dengan segala kekurangannya, terlihat selisih data antara DPT (2019) dengan DP4 itu kurang lebih 4-5 persen. Maka, sejak November 2019, KPU RI sudah menggaungkan kepada KPU daerah agar melakukan pemetaan pemilih sejak dini, kata Viryan.

        Khusus daerah-daerah yang melakukan pilkada, sejak November telah dilakukan pengecekan data dan pembersihan data yang substansinya adalah penyelenggara pemilu di daerah harus menguasai data yang ada dalam dirinya, yang ada di KPU.

        “Bila perlu sampai detil, kami minta per desa/kelurahan dianalisis, berapa yang TMS, berapa DPK yang kemarin belum masuk layak dimasukkan, berapa DPK yang tidak bisa dimasukkan. Itu sejak November kami minta,” ujar dia.

        KPU juga memperhatikan tentang adanya potensi ketidaksesuaian data apabila datanya diambil hanya dari orang-orang RT/RW, tidak turun langsung seperti kasus-kasus sebelumnya.

        Sebelumnya pernah terjadi malpraktik Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (Pantarlih) per TPS karena tidak bekerja secara 'door to door'. Hal itu terjadi karena Pantarlih bekerja per TPS. Karena satu TPS bisa terdiri dari dua sampai lima RT, sejumlah Pantarlih tidak bisa bekerja dengan baik karena dia harus bergerak dari RT ke RT.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: