Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menambah anggaran biaya stimulus ekonomi. Total anggaran sebesar Rp677 triliun digelontorkan pemerintah untuk beragam instrumen kebijakan seperti insentif perpajakan, bantuan sosial, Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN, subsidi bunga khususnya untuk UMKM, hingga penempatan dana pemerintah di perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit.
Anggaran tersebut telah ditingkatkan tiga kali dibanding saat pertama kali diajukan oleh pemerintah. Semula pada awal April, pemerintah menganggarkan dana pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp150 triliun, kemudian mengalami penyesuaian pada pertengahan Mei menjadi Rp405 triliun, dan pada akhir Mei rekapitulasi dana untuk pemulihan ekonomi nasional menjadi Rp641 triliun.
Baca Juga: Surat Utang Sulit Biayai Stimulus Penanganan Covid-19
Meskipun telah mengalami peningkatan yang begitu besar, CORE Indonesia berpandangan bahwa peningkatan anggaran yang diajukan untuk pemulihan ekonomi nasional masih jauh dari ideal. Hal ini didasarkan pada beberapa catatan.
Pertama, kebutuhan anggaran kesehatan yang lebih besar untuk penanggulangan wabah
Menurut Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, anggaran kesehatan merupakan anggaran terpisah dari anggaran pemulihan ekonomi nasional yang semestinya menjadi prioritas jika pemerintah ingin mendorong pulihnya ekonomi.
"Apalagi, pemerintah tengah mencanangkan untuk melakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan memasuki fase new normal. Jika penerapan kebijakan new normal ini tidak diikuti dengan pendekatan kesehatan seperti misalnya persiapan kelengkapan alat kesehatan seperti APD dan ventilator, dikhawatirkan kita tidak siap menghadapi kemungkinan terjadinya lonjakan jumlah kasus baru atau yang disebut sebagai second wave," ujarnya.
Apalagi jika merujuk pada tren peningkatan kasus baru di Indonesia yang masih tinggi dan jumlah tes yang dilakukan masih relatif sangat sedikit. Untuk itu, CORE Indonesia mendorong pemerintah meningkatkan anggaran kesehatan setidaknya sampai dengan Rp100 triliun, khusus untuk kebutuhan alat kesehatan seperti ventilator hingga test kit.
Kedua, asumsi tambahan penduduk miskin yang berpotensi jauh lebih besar
Piter menuturkan, pemerintah menganggarkan sebanyak Rp172 triliun untuk rumah tangga miskin, rentan, dan terdampak Covid-19, di mana menurut hitungan pemerintah dengan skema sangat berat, jumlah penduduk miskin akan bertambah hingga 4,86 juta orang.
Meski demikian, angka yang diajukan pemerintah tersebut diperkirakan masih terlalu kecil dibandingkan potensi lonjakan penduduk miskin akibat wabah Covid-19. Dengan skenario sangat berat, di mana wabah Covid-19 diasumsikan berlangsung hingga akhir tahun dan kebijakan PSBB diberlakukan secara lebih luas baik di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, potensi pertambahan penduduk miskin bisa mencapai 12,2 juta orang.
"Dengan asumsi penambahan jumlah penduduk miskin mencapai 12,2 juta orang, CORE Indonesia memperkirakan kebutuhan bantuan untuk masyarakat miskin dalam skenario sangat berat bisa mencapai Rp234 triliun, atau lebih tinggi dari anggaran bantuan konsumsi yang diajukan pemerintah saat ini yang mencapai Rp172 triliun," kata Piter.
Ketiga, kebutuhan untuk dana pemulihan swasta
Langkah pemerintah untuk menyalurkan dana bantuan untuk BUMN patut diapresasi. Namun, dalam kondisi seperti sekarang, bantuan semestinya juga diberikan pada pelaku usaha swasta. Stimulus yang sudah ditempuh pemerintah untuk pelaku swasta adalah memberikan keringanan pajak, sementara OJK melakukan pelonggaran restrukturisasi kredit.
"Kedua kebijakan ini membantu mengurangi tekanan likuiditas dunia usaha termasuk swasta," kata Piter.
Meski demikian, efek samping dari gencarnya restrukturisasi kredit ini adalah berkurangnya likuiditas perbankan. Upaya pemerintah menempatkan dana di bank-bank jangkar diperkirakan tidak akan banyak membantu likuiditas perbankan.
"Menurut hitungan CORE Indonesia, apabila perbankan melakukan restrukturisasi kredit terhadap 25% dari total kredit yang disalurkan, perbankan akan mengalami penurunan likuiditas sekitar Rp631 triliun. Alokasi anggaran bantuan pemerintah berupa penempatan dana di perbankan terlalu kecil bila dibandingkan penurunan likuiditas yang dialami perbankan," ucap Piter.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum