Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Surat Utang Sulit Biayai Stimulus Penanganan Covid-19

Surat Utang Sulit Biayai Stimulus Penanganan Covid-19 Kredit Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia sesungguhnya masih punya ruang untuk mencetak uang guna membiayai stimulus fiskal dalam rangka membantu ekonomi di tengah pandemi. Hal ini mempertimbangkan jumlah uang beredar yang saat ini masih sangat rendah.

Hal itu dikatakan Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core Indonesia), Piter Abdullah Redjalam, di Jakarta, Kamis (4/6/2020).

Baca Juga: Rp6.238 Triliun Uang Beredar pada April 2020

"Pemerintah hendaknya mendahulukan sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang oleh pemerintah. Namun, kebijakan ini sulit dilakukan menimbang kondisi di dalam negeri yang sedang kekeringan likuiditas. Oleh karena itu, kebijakan tambahan diperlukan untuk pemenuhan likuiditas di dalam negeri yaitu dengan kebijakan pencetakan uang oleh bank sentral," kata Piter.

Ia pun berpandangan, paling tidak ada dua alasan utama mengapa kebijakan pencetakan uang perlu dan bisa dilakukan di Indonesia saat ini. Pertama, tambahan likuiditas diperlukan untuk kebutuhan pembiayaan stimulus.

Umumnya, pemerintah menarik sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang. Namun, di tengah keringnya likuiditas akibat pandemi akan sangat sulit berharap permintaan terhadap surat utang pemerintah mampu menutup kebutuhan pembiayaan.

"Pasalnya, investor asing yang mempunyai persentase kepemilikan terbesar dalam surat utang pemerintah mengurangi porsi kepemilikannya. Sementara, bank masih menghadapi permasalahan likuiditas akibat tekanan NPL dan upaya restrukturisasi kredit. Di sisi lain, investor individu cenderung melakukan precautionary savings yang lazim terjadi di tengah pandemi ataupun tekanan ekonomi," tambahnya.

Kedua, jika melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, pihaknya berkeyakinan bahwa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960-1966.

Ia pun mengungkapkan beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi saat ini. Pertama, pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang terlalu besar. Pasalnya, posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sedangkan kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besar dan berlangsung tidak terus-menerus.

"Selain itu pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan," tambahnya.

Kedua, kenaikan permintaan yang diperkirakan terbatas masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Ketiga, situasi politik saat ini jauh lebih kondusif dan tingkat inflasi juga relatif rendah.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: