Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Neraca Dagang Surplus Bisa Jadi Tanda Ekonomi Lemah, Kok?

        Neraca Dagang Surplus Bisa Jadi Tanda Ekonomi Lemah, Kok? Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Mei 2020, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$2,09 miliar atau Rp29,72 triliun. Surplus ini didorong oleh kontribusi ekspor sektor nonmigas sebesar US$9,88 miliar. Sementara itu, sektor migas mengalami defisit sebesar US$650 juta.

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menilai, kendati surplus, Indonesia mengalami penurunan ekspor maupun impor dan hal ini mengindikasikan pelemahan ekonomi. Nilai total ekspor tercatat sebesar US$10,53 miliar mengalami penurunan sebesar 13,40% dibandingkan dengan April 2020. Nilai ekspor nonmigas senilai US$9,88 miliar juga turun sebesar 14,81%.

        Baca Juga: Neraca Dagang Surplus, BI: Daya Tahan Eksternal RI Makin Kuat

        "Penurunan nilai ekspor, salah satunya, disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pandemi ini memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pembatasan, seperti physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang menyebabkan berkurangnya kegiatan industri, menurunnya pendapatan, dan berkurangnya tenaga kerja yang dipekerjakan," ujar Ira di Jakarta, Selasa (16/6/2020).

        Di saat yang bersamaan, nilai impor untuk migas dan juga nonmigas juga mengalami penurunan. Nilai impor senilai US$8,44 miliar turun sebesar 32,65% dibandingkan dengan April 2020. Sementara itu, impor nonmigas senilai US$7,78 miliar turun sebesar 33,36% dibanding April 2020. Selan itu, impor migas senilai US$0,66 miliar turun sebesar 23,04%.

        "Berkurangnya impor juga merupakan salah satu dampak pandemi Covid-19 di mana industri mengurangi jumlah tenaga kerja dan juga produksinya. Berkurangnya jumlah tenaga kerja dan produksi tentu juga mengurangi jumlah perdagangan, baik ekspor maupun impor. Adanya surplus neraca perdagangan bukanlah ukuran performa ekonomi sedang berjalan dengan baik. Namun, ini harus dilihat secara detail ekspor-impor pada komoditas," tegasnya.

        Ia mencontohkan, penurunan pada impor migas sebesar 23,04 persen dan golongan mesin mekanis sebesar 30,56% pada April-Mei 2020 menunjukkan kurangnya permintaan industri terhadap input produksi.

        "Pemerintah tidak boleh mengartikan surplus neraca sebagai hal positif jika kita lihat penurunan impor terjadi pada bahan baku industri dan bukan akibat tambahan pasokan secara domestik," ungkapnya.

        Pemerintah, lanjut Ira, harus berfokus pada orientasi perdagangan terbuka dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah.

        Ia memberi contoh, ekspor Indonesia pada Januari-Mei 2020 berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, provinsi yang dinilai mempunyai infrastruktur yang memadai dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.

        Kedua, Ira juga merekomendasikan pemerintah untuk mempermudah proses impor pada bahan baku untuk menggerakkan industri. Untuk itu, penurunan nilai impor, terutama pada bahan baku industri, seharusnya dilihat sebagai sebuah peringatan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: