Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan keadaan darurat pada Minggu (5/7/2020). Keputusan itu diambil merespons masih meningkatnya penularan Covid-19.
Dikutip dari laman kantor berita Palestina WAFA, Abbas mengatakan, otoritas di negaranya akan mengambil semua langkah yang diperlukan guna menghadapi bahaya akibat Covid-19. Perlindungan kesehatan bagi masyarakat pun menjadi prioritas.
Baca Juga: Hamas-Fatah Bersatu, Rakyat Palestina: Kenapa Baru Sekarang?
Sejak 5 Maret, Abbas telah tiga kali menyatakan keadaan darurat. Dua dekrit pertama diperpanjang masing-masing selama satu bulan setelah habis masa berlakunya. Saat ini, Palestina memiliki 3.835 kasus Covid-19 dengan 19 kematian.
Sementara itu, Israel telah memerintahkan puluhan ribu warganya menjalani karantina. Kementerian Kesehatan Israel menyebut, telah mengirim pesan singkat kepada warganya. Hal itu dilakukan setelah Israel melanjutkan program pengawasan telepon yang kontroversial dengan melibatkan agen keamanan domestik Shin Bet.
Menurut surat kabar Israel, Haaretz, sebanyak 30 ribu warga telah menerima pesan singkat berisi perintah karantina sejak Kamis lalu. “Kita berada di puncak serangan baru korona. Ini adalah wabah yang sangat kuat yang tumbuh dan menyebar di dunia dan juga di sini. Kita berada dalam keadaan darurat,” kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada kabinetnya pada Ahad.
Netanyahu menekankan bahwa Israel perlu lebih ketat mengekang penyebaran virus. Saat ini, Israel memiliki 29.170 kasus Covid-19 dengan 330 kematian. Baik Israel maupun Palestina sebenarnya telah berhasil menekan penyebaran Covid-19. Namun, pelonggaran pembatasan sosial telah menyebabkan kasus-kasus baru meningkat kembali.
Sementara itu, puluhan diplomat Amerika Serikat (AS) dan keluarga mereka meninggalkan Arab Saudi. Hal ini dilakukan setelah jumlah kasus infeksi virus korona di negara itu meningkat tajam.
Pada Minggu media Sputnik dan Wall Street Journal melaporkan, pekan lalu, Departemen Luar Negeri AS mengizinkan personel diplomatik nonesensial untuk meninggalkan Arab Saudi.
Menurut Pemerintah AS, setidaknya ada 30 karyawan di Kedutaan Besar AS di Riyadh yang sebagian besar bukan warga AS terinfeksi virus korona. Walau, sejak Maret lalu mereka sudah bekerja dari rumah.
Wall Street Journal melaporkan, sejumlah diplomat AS juga khawatir Pemerintah Saudi menyembunyikan data wabah yang sebenarnya dan meremehkan jumlah kasus infeksi Covid-19.
Dalam 24 jam Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan 212.326 kasus baru di seluruh dunia. AS, Brasil, dan India menjadi negara dengan jumlah kasus baru terbanyak.
Johns Hopkins University mencatat angka global hampir menyentuh 11,3 juta kasus. Sedangkan, kematian secara global tercatat lebih dari 531 ribu jiwa.
Sementara, media Australia, The New Daily, Minggu (5/7/2020), melaporkan, 239 ilmuwan dari seluruh dunia membuat surat terbuka kepada WHO. Para ilmuwan itu memperingatkan semakin banyak bukti virus tersebut dapat menular melalui udara.
Para ilmuwan mengatakan, virus korona mungkin dapat bertahan sebagai partikel-partikel kecil di udara dalam waktu yang lama dan mengambang beberapa meter. Ruang tertutup dengan ventilasi yang buruk seperti transportasi publik menjadi tempat yang paling mengkhawatirkan.
Dalam surat terbuka itu para peneliti menuduh WHO gagal menyampaikan secara tepat mengenai risiko penularan. Mereka mengatakan, pendoman pencegahan penularan yang dikeluarkan organisasi kesehatan PBB itu mengabaikan bukti penularan di udara.
Penyebaran yang ditemukan terjadi di restoran-restoran di Cina di awal pandemi. Pengunjung yang duduk di meja yang terpisah tetap tertular.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: