Kemunculan pagebluk virus corona atau Covid-19 tidak saja berdampak terhadap kesehatan dan ekonomi, tapi juga pada sektor pendidikan. Bahkan sampai saat ini pemerintah belum mengizinkan sekolah-sekolah untuk melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka demi mencegah penularan virus tersebut.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Salahuddin Uno menilai akibat pandemi Covid-19, sektor pendidikan juga harus menyesuaikan agar proses KBM tetap dilaksanakan salah satunya melalui metode study from home dengan memanfaatkan teknologi saat ini. Namun, menurutnya, di era modern, revolusi industri 4.0 adalah kesempatan untuk mempercepat adopsi teknologi melalui konsep study from home.
"Tentunya kita tidak bisa melepas mereka dengan teknologi. Kita harus berikan bimbingan agar teknologi itu membantu mereka meningkatkan kapasitas, proses belajar, dan mengajar," jelas Sandiaga.
Baca Juga: Usia 15-24 Tahun 3 Kali Lebih Rentan Terpapar Pengangguran
Sandi mengingatkan bahwa ke depan, selama virus ini masih ada, masyarakat terutama guru dan murid harus terbiasa dengan kebiasaan baru saat sekolah-sekolah mulai dibuka pada masa normal baru.
Menurutnya, masyarakat tidak bisa lari dari suatu realita baru, di normal baru ini, harus terbiasa dengan hal-hal yang dulu tidak terbiasa. Misalnya sekarang menggunakan masker, juga selalu menjaga kebersihan dengan hand sanitizer, dan terbiasa mencuci tangan, tidak bersalaman, tidak berpelukan.
"Saya yakin pandemi Covid-19 memberikan satu ujian bagi sistem pendidikan kita untuk beradaptasi dan bukan hanya murid, tapi guru juga beradaptasi, orang tua juga beradaptasi, lingkungan juga beradaptasi," lanjut Sandi.
Sandi juga mengingatkan ke depan sistem pendidikan akan berubah. Pendidikan akan lebih mengarah pada vokasi atau peningkatan keterampilan sambil praktik. Jika dahulu masuk SMP, SMA, kuliah, dan kerja berganti. Nanti akan ada konsep di mana kuliah sambil kerja, vokasi sambil kerja.
Akhirnya pendidikan menjadi life long learning, tidak hanya 18-20 tahun. Dengan adanya Covid-19, edukasi terutama experience learning akan relevan. Sandi beralasan, sistem yang demikian akan menuntut setiap orang terus belajar karena perkembangan teknologi bergerak begitu cepat.
"Mungkin umur 30 tahun teknologi sudah berubah. Sehingga hal-hal yang kita pelajari pada saat 17 tahun sudah berganti total," katanya.
Sebelumnya, Sandi juga mengingatkan bahwa bonus demografi yang terjadi di Indonesia pada 2030-2040 bisa menjadi bencana demografi bila tidak ada investasi di sektor pendidikan.
Sandi memaparkan bahwa penduduk Indonesia yang pada tahun ini berusia 7 tahun, rata-rata mereka berharap bisa mengikuti pendidikan 12 tahun atau hanya sampai SMA/sederajat.
"Bonus demografi itu akan berubah menjadi bencana demografi kalau kita enggak bisa ubah bahwa mayoritas anak usia 7 tahun ini cuma dapat pendidikan 12 tahun ke depan," kata Sandi.
Sandi berharap pemerintah dan semua pihak benar-benar memikirkan masa depan mereka. Sehingga bonus demografi menjadi peluang dan cita-cita Indonesia Emas 2045 bisa terwujud. Mereka harus dapat kesempatan pendidikan minimal sampai S1 (sarjana), dan sebagian S2 (magister), dan akhirnya S3 (doktor).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: