Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan pihaknya terus memperkuat regulasi di sektor perbankan guna mencegah terjadinya fraud di industri perbankan. Regulasi yang ketat dinilai penting mengingat industri perbankan merupakan jantungnya aktivitas ekonomi Indonesia sehingga bila mengalami kolaps akan berdampak sistemik.
"Artinya bahwa sebenarnya regulasi mengenai banking sudah sangat ketat. Kalau dari internal, kita sudah mengatur tugas komisaris seperti apa. Kemudian di bawah komisaris ada komite-komite termasuk komite kredit dan sebagainya. Kemudian di level direksi ada juga risk management," ujar Kepala Pengawas Perbankan, Heru Kristiyana, saat webinar IDX Channel di Jakarta, Jumat (17/7/2020).
Baca Juga: Demi Jaga Perekonomian, OJK Sudah Keluarkan 11 Kebijakan
Menurut Heru, ring satu pencegahan fraud sebenarnya sudah ada di dalam internal itu sendiri mulai dari komisaris, komite di bawah komisaris, risk management, maupun unit antifraud yang berada di bawah direksi perbankan.
Namun, bila aksi fraud masih tetap terjadi, Heru menegaskan masih ada ring kedua yang langsung diawasi dan dijaga ketat OJK. Kemudian di Himbara juga ada pengawasan dari auditor eksternal. Sesuai ketentuan mengenai manajemen risiko, bank diwajibkan memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola risiko, termasuk adanya sistem pengendalian intern terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi bank.
Selanjutnya, pengaturan mengenai pencegahan fraud di industri perbankan telah berlaku sejak tahun 2011 dan terakhir disempurnakan pada POJK No.39/POJK.03/2019 tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud.
"OJK menyadari bahwa dalam setiap kegiatan usaha bank dapat terpapar risiko operasi yang salah satunya berasal dari fraud. Oleh karena itu, bank diwajibkan untuk menerapkan strategi antifraud yang mencakup pencegahan, deteksi, investigasi, sanksi, serta pemantauan, yang selanjutnya akan menjadi objek pengawasan OJK," paparnya.
Selain itu, OJK juga telah mengatur terkait kualifikasi SDM industri keuangan khususnya key person dari industri dimaksud. Kebijakan tersebut tertuang dalam POJK No. 27/POJK.03/2016 tentang penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Pihak utama bagi bank termasuk pemegang saham pengendali, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris.
"Semua sebetulnya untuk mencegah terjadinya fraud. Pokoknya sudah berlapis-lapis seperti itu," tegas Heru.
Kendati demikian, Heru mengakui, fraud bisa datang dari mana saja. Menurutnya, fraud yang paling sulit dideteksi adalah fraud yang dilakukan kerja sama antara orang dalam bank itu sendiri dan nasabahnya.
Sebagai contoh, kasus fraud yang dilakukan orang dalam dan nasabah bank adalah kasus pembobolan Bank BNI senilai Rp1,7 triliun yang dilakukan oleh pemilik PT Gramarindo Mega Indonesia Maria Pauline Lumowa. Pelaku membobol kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif yang dilakukan pada tahun 2002. Diduga, lancarnya pencairan L/C kepada Gramarindo karena melibatkan orang dalam BNI.
"Kalau sudah seperti itu, keamanaan yang berlapis-lapis dapat diterobos karena mereka sendiri yang melakukannya. Kalau sudah berkolaborasi dan berjamaah, akan sulit dideteksi. Apalagi kalau ada kekuasaan yang one man show. Pengalaman kita kalau sudah ada keputusan yang sifatnya one man show maka ada kemungkinan terjadinya fraud," tukasnya.
Namun kembali lagi, secara umum regulasi perbankan di Indonesia sudah ketat. Bila pemilik dan pengurus bank dapat melakukan tata kelola dengan baik, bisa dipastikan kemungkinan terjadinya fraud dapat diminimalisasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum