Di tengah krisis ekonomi, Lebanon justru dijauhi oleh negara-negara Arab dan Barat. Beirut kini membidik China sebagai sumber duit dan jalan keluar dari kebangkrutan. Langkah itu bisa memicu antipati Amerika Serikat.
Lebanon yang sejak dulu menjadi ladang pertikaian antara Arab Saudi dan Iran, kini mendapati diri terseret ke dalam konflik antara China dan negara barat.
Baca Juga: Ledakan Beirut, Mia Khalifa Hujat-hujat Hizbullah, Kenapa?
Penyebabnya adalah krisis ekonomi yang menggerogoti anggaran negara. Pemerintah di Beirut kini sedang berada di tepi jurang kebangkrutan.
Dalam beberapa bulan terakhir, nilai mata uang pound Lebanon anjlok sebanyak 80% terhadap dolar Amerika Serikat.
Fluktuasi nilai tukar yang liar ikut memadamkan aktivitas perdagangan. Alhasil sebagian besar kelas menengah Libanon terjerembab ke garis kemiskinan.
Akibatnya aksi demonstrasi merajalela di jalan-jalan ibu kota. Jutaan orang turun ke jalan sejak Oktober 2019 untuk mengecam praktik korupsi dan kebuntuan politik.
Amarah penduduk kian tersulut ketika mendengar pemerintah ingin menggandakan pajak rokok dan bahan bakar, serta memberlakukan pajak telepon bagi aplikasi serupa WhatsApp.
Beirut sebenarnya sedang bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencairkan pinjaman senilai 11 miliar dolar AS. Dana itu sudah dijanjikan sejak 2018 silam.
Namun perundingan menemui jalan buntu. Pemerintah dan parlemen Libanon dianggap gagal menyepakati paket reformasi sesuai syarat IMF.
Langkah serius dekati China
Buntutnya Perdana Menteri Hassan Diab mencari bantuan ke China. Pemerintah di Beijing adalah sekutu alami bagi Lebanon, terutama sejak Diab yang didukung Iran dan Suriah berhasil melengserkan Saad Hariri yang dekat dengan Arab Saudi.
Milisi Syiah, Hizbullah, yang memiliki 13 kursi di parlemen ikut menyuarakan dukungan bagi poros Beirut-Beijing.
“Langkah kami ke arah China merupakan sesuatu yang sangat serius,” kata seorang pejabat di kementerian kepada kantor berita AP.
“Kami sedang melewati situasi yang luar biasa dan kami menyambut siapapun yang ingin membantu.”
Dia mengklaim China menawarkan diri untuk mengakhiri krisis energi listrik di Lebanon yang sudah berlangsung sejak satu dekade terakhir. Pemerintah di Beirut sedang mempertimbangkan tawaran tersebut, kata dia.
China juga dikabarkan ingin membangun pembangkit listrik, terowongan yang memangkas perjalanan antara Beirut dan lembah Bekaa dan jalur kereta di sepanjang pesisir pantai Lebanon.
Hizbullah di balik sanksi ekonomi AS
Pemerintah di Washington yang selama ini menyokong militer Lebanon, mewanti-wanti kebijakan baru tersebut akan ikut membebani hubungan dengan Amerika Serikat.
Keretakan hubungan antara AS dan Lebanon sudah terlihat sejak pemerintahan Hariri dilengserkan. Ketika Lebanon dilanda aksi demonstrasi, Hizbullah dan PM Hassan Diab bersama-sama menuduh AS sebagai biang keladi krisis ekonomi.
Mereka mengklaim AS menjatuhkan sanksi ekonomi secara informal untuk menekan Hizbullah yang dikategeorikan organisasi teror oleh Washington dan negara Arab lain.
“Kita tahu persis bahwa ada keputusan besar untuk mengepung negeri ini. Mereka menghalangi setiap bantuan bagi Lebanon,” kata Diab dalam sebuah rapat kabinet, 2 Juli silam.
“Mereka menghalangi kucuran dana ke Lebanon dan memblokir kredit untuk mengimpor bahan bakar, diesel, obat-obatan dan tepung untuk memutus aliran listrik, membuat warga Lebanon kelaparan dan membiarkan mereka mati tanpa obat-obatan.”
Namun juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Morgan Ortagus, sebaliknya menilai upaya “pemerintah Lebanon menyalahkan sanksi AS sebagai pemicu krisis ekonomi adalah keliru dan salah kaprah.”
Antara belanja infrastruktur dan restrukturisasi anggaran
Maret silam Lebanon mendeklarasikan tidak mampu menyicil tunggakan utang pemerintah.
"Akibatnya perusahaan barat enggan berinvestasi selama belum tercapainya kesepakatan dengan IMF," kata ekonom Libanon Hasan Moukalled.
Menurutnya, ini yang membedakan dengan perusahaan-perusahaan China. Godaan Beijing terasa lebih memikat lantaran menjanjikan proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan infrastruktur baru.
Sementara negosasi dengan IMF berpusat pada mitigasi defisit anggaran dan mengembangkan kerangka kerja untuk reformasi strutural pada perekonomian nasional.
Tujuhbelas kali pemerintah Lebanon dan IMF sudah bertemu sejak pertengahan Mei lalu. Tapi tidak satu pun perundingan membuahkan kemajuan.
Moukalled yang sudah berulangkali mengunjungi China antara 2018 dan 2019, mengklaim proyek infrastruktur yang dijanjikan China bernilai 12,5 miliar dolar AS.
Investasi itu dinilai juga mengandung motivasi politik, mengingat posisi strategis Libanon sebagai pintu masuk ke Timur Tengah bagi Beijing, dan juga Rusia.
Iran juga sempat ikut menawarkan bantuan, namun ditolak Beirut yang tidak ingin memprovokasi Amerika serikat.
“Kami memahami kebutuhan Lebanon atas kucuran dana. Mereka membutuhkan investor,” kata Duta Besar AS untuk Lebanon, Dorothy Shea, kepada stasiun televisi Arab Saudi, Al-Hadath.
Tapi kebergantungan terhadap Cina “akan berdampak pada stabilitas dan kemakmuran jangka panjang Libanon, dan tentunya terhadap hubungan dengan Amerika Serikat.”
Duta Besar Rusia, Alexander Zasypkin, sebaliknya mengklaim Rusia, China, Suriah, Iran dan Irak akan membantu Lebanon. Menurutnya, jika barat menolak membantu, “alternatif untuk merapat ke timur semakin mendesak.”
Ketika melawat ke Lebanon pekan lalu, Kepala Komando Pusat Militer AS, Jenderal Kenneth McKenzie, ditanya tentang upaya negara-negara Arab mencekati China sebagai sumber investasi. “Anda mendapat sesuai yang Anda bayar, cuma itu yang bisa saya katakan,” jawabnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: