Pengamat Energi dari Energy Watch Indonesia Mamit Setiawan mengatakan industri migas tengah mengalami mimpi buruk akibat panndemi Covid-19. Bahkan, banyak perusahaan migas dunia yang mengalami kerugian sepanjang semester I-2020.
Hal ini dikatakan terkait kerugian yang dialami PT Pertamina (Persero). Perusahaan sendiri tercatat merugi sebesar US$767,91 juta setara Rp11,13 triliun (mengacu kurs Rp14.500 per dolar AS) pada semester I-2020.
Baca Juga: Konsumsi BBM dan Elpiji di Bali Meningkat, Pertamina Siap Layani
Baca Juga: Pertamina Untung Rp9,5 T, Tapi Dulu Sebelum Ahok Datang
"Saya melihatnya tidak bisa dihubungkan. Ini memang kondisi pandemi, kondisi force majeur (kahar). Semua instansi dan sektor tidak siap dengan kondisi saat ini," katanya dalam keterangan yang diterima, di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Sambungnya, jajaran Komisaris dan Direksi Pertamina saat ini begitu sigap dan tanggap dalam menjalankan perusahaan ditengah kondisi pandemi ini.
"Tidak bisa kita membandingkan satu periode kepemimpinan dengan kepemimpinan saat ini. Permasalahan, kendala dan tantangan yang di hadapi pasti berbeda. Semua yang pernah dan sedang menduduki jajaran Komisaris dan Direksi Pertamina pasti melakukan usaha yang terbaiknya dalam rangka memajukan Pertamina." katanya lagi.
Lanjutnya, ia mengatakan Pertamina dengan kondisi saat ini mengalami tekanan yang luar biasa. Ada beberapa point yang menyebabkan beban keuangan Pertamina bertambah.
Pertama, turunnya pendapatan dan penjualan yang mencapai 20%. Penurunan ini, mengkoreksi pendapatan Pertamina dari US$25,5 Miliar pada semester 1 (satu) 2019 hanya menjadi US$20.4 Miliar. Dampak dari covid19 dimana harga minyak dunia mengalami penurunan yang drastis sehingga ICP juga terkoreksi sangat dalam menyebabkan pendapatan dari domestik migas Hulu terjun 21% menjadi US$16.5 Miliar dari US$20.9 Miliar pada 2019.
Kedua, pergerakan mata uang rupiah yang terdepresiasi cukup dalam sepanjang semester 1 (satu) membuat Pertamina merugi selisih kurs sebesar US$211.8 Juta atau minus 428% jika dibandingkan periode 2019 dimana membukukan keuntungan sebesar US$64.5 juta.
Ketiga, penjualan sektor hilir yang terpukul sampai 13% dari periode sebelumnya. Saat ini secara nasional konsumsi BBM hanya mencapai 117 ribu KL jauh lebih rendah dibandingkan 2019 dimana konsumsi BBM sebesar 135 ribu KL.
Keempat, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 dimana ini menambah beban keuangan Pertamina. Melalui implementasi PSAK 73 ini dimana semua barang yang disewa dalam waktu jangka panjang harus di treatment sebagai aset sehingga angka depresiasi yang tanggung Pertamina angkanya jauh lebih tinggi dari harga sewanya. Beban keuangan yang sudah terdampak akibat implementasi PSAK 73 ini berkisar di angka US$400 juta.
"Selama ini masyarakat jika melihat Pertamina lebih banyak naik atau turunnya harga BBM. Padahal, Pertamina bukanlah perusahaan trader atau perusahaan yang hanya menjual BBM saja. Pertamina adalaha perusahaan yang terintegrasi dari Hulu sampai Hilir. Mulai dari mencari minyak mentah dan gas, memproduksi minyak dan gas hingga menyalurkan BBM dan gas kepada masyarakat. Kita tidak bisa hanya memberikan penilaian terhadap Pertamina dari satu sisi saja." katanya.
Menurutnya, Pertamina bukanlah satu-satunya perusahaan minyak dan gas (migas) yang mencatat kinerja buruk di media pertama 2020 ini. Perusahaan migas internasional, seperti Chevron Corporation, Exxon Mobil Corporation, dan BP juga mencatat kerugian. Sebut saja, Chevron Corporation rugi US$8,3 miliar Exxon Mobil Corporation rugi US$1,1 miliar, dan BP rugi US$6,7 miliar.
"Kalau saya melihatnya kerugian Pertamina ini merupakan hal yang wajar karena kita tahu ternyata kerugian ini bukan hanya dialami Pertamina tapi juga perusahaan global," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil