Perusahaan jasa pengiriman asal Indonesia J&T Express resmi masuk pasar China sejak Maret 2020. J&T Express mengaku optimistis bisa bertahan di negeri Tirai Bambu itu.
"Kami tidak bilang jadi yang gede di China tapi bahasanya, bagaimana bisa survive," kata CEO J&T Express Robin Lo dalam acara virtual di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: HUT Ke-5, J&T Express Wujudkan Barang Impianmu, Hadiahnya Rp3 M!
Pasar China disebut Robin menjadi pasar paling besar di dunia. Dibandingkan Indonesia yang volume pengiriman sekitar 4 juta pengiriman per hari, di China mencapai 220 juta pengiriman per hari. Dengan pasar sebesar itu, Robin meyakini masih ada peluang yang bisa digarap perusahaan yang telah menginjak usia lima tahun itu.
"Di sana ada lima perusahaan pengiriman yang sudah cukup raksasa. Di antara perusahaan raksasa dan pasar yang begitu besar, masih ada tersisa pasar kecil yang tidak diambil pemain besar itu. Itu cara kami masuk ke China, kita ambil pelanggan yang tidak digarap pemain raksasa," katanya.
Menurut Robin, cara itu pulalah yang awalnya ia terapkan di Indonesia. Dengan pesatnya perkembangan e-commerce, mana pihaknya mengambil peluang dari pelanggan kecil yang tidak dimanfaatkan pemain besar.
"Karena perkembangan e-commerce begitu cepat, otomatis perusahaan logistik besar tidak sanggup menangani yang kecil karena mengutamakan yang besar. Kami cukup perbaiki layanan, pelanggan senang dan saya yakin yang kecil ini akan jadi besar. Jadi tidak peduli di negara manapun ada kesempatan seperti itu," katanya.
Selain di Indonesia, J&T Express saat ini telah beroperasi di Malaysia, Vietnam, Filipina, Thailand, Singapura, Kamboja, dan China.
Meski sudah merambah pasar ASEAN plus China, Robin mengaku kontribusi pendapatan paling besar tetap berasal dari operasional di Indonesia. Ia menyebut secara rasio, perbandingan kontribusi Indonesia dan negara lainnya yakni sekitar 50:50.
Baca Juga: Kirim Barang Pakai Rail Express, PT KAI Kasih Diskon 17%
Ia juga mengungkapkan tantangan yang dihadapi saat mulai ekspansi bisnis, mulai dari kondisi lingkungan, kebijakan pemerintah hingga budaya yang berbeda. "Termasuk bahasa, tipikal belanja atau e-commerce yang beda. Tiap masuk negara yang baru kita optimalisasi pekerja lokal agar bisa adaptasi dengan kondisi yang ada," pungkas Robin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: