Pemerintah memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi selama 2020 dalam kisaran minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Pemerintah juga memproyeksikan pertumbuhan selama triwulan III 2020 dalam kisaran minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen.
Mengingat laju pertumbuhan triwulanan telah lebih dari dua kali berturut-turut minus, Indonesia dipastikan terjerembab dalam resesi. Apakah masih punya alasan untuk tetap optimis berinvestasi dalam saham dan surat berharga negara?
Baca Juga: Anak Usaha Telkom Pimpin Investasi Triliunan Milik Platform Esports
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, menyatakan ada baiknya investor mencermati tiga indikator. Pertama, pertumbuhan M1 (uang kartal plus giral) yang mencerminkan daya beli terkait dengan percepatan realisasi stimulus. Kedua, apakah investor asing kembali masuk ke dalam SBN. Ketiga, apakah terlihat indikasi penyaluran kredit.
"Indikator pertama terus membaik yang ditopang oleh percepatan penyaluran dana bantuan sosial. Sementara, indikator kedua naik secara gradual yang menghalangi penguatan rupiah. Sayangnya, indikator ketiga masih menunjukkan perlambatan. Padahal, indikator ini yang paling penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menopang cuan saham," ungkap Budi Hikmat dalam siaran pers, Selasa (29/9/2020).
Budi berharap, pemerintah terus memacu realisasi stimulus pos dukungan kesehatan, insentif usaha UMKM, dan penjaminan kredit hingga akhir tahun. Secara statisitik, setiap bulan Desember umumnya selalu hijau. Bursa saham kemungkinan akan bergerak turun naik pada interval tertentu (side-ways) akibat faktor eksternal. Saat ini, investor mengantisipasi sekira ada kerusuhan dalam pelaksanaan Pilpres Amerika Serikat.
Bagi investor awam yang tidak tahan volatilitas, Budi menyarankan tetap bersikap defensif dengan berinvestasi pada reksadana pasar uang dan SBN. Sementara bagi investor yang ahli, Budi menyarankan mencadangkan cash untuk sewaktu-waktu digunakan selektif memilih saham yang valuasinya murah.
Berbeda dengan sejumlah ekonom yang memproyeksikan pemulihan ekonomi mengikuti pola huruf U, Z, L atau W, Budi menyakini berpola huruf K. Menurutnya, investor global menyakini profil dunia pascapandemi Covid-19 berubah drastis.
"Hal ini terlihat pada saham sektor teknologi informasi dan digital services seperti Apple, Amazon, Microsoft, Nvidia, PayPal, dan Netflix yang meroket sebagai pemenang. Sementara, saham perminyakan Exxon Oil, keuangan JP Morgan Chase dan Wells Fargo serta penerbangan Boeing terjerembab sebagai pecundang. Perbedaan kinerja tajam ini mirip seperti huruf K. Hal yang sama bisa terjadi di Indonesia dengan sejumlah keunikan," ulas Budi.
Saham telekomunikasi nasional ternyata baru dianggap kuat pada digital backbone belum digital services. Ketika terjadi PSBB lanjutan, lini bisnis utama yang masih ditopang percakapan suara dan SMS mengalami penurunan. Saham sektor konsumsi bisa diuntungkan oleh percepatan pencairan dana bansos.
Saham perbankan diuntungkan setelah mereka menekan bunga deposito dan menempatkan kelebihan likuiditas yang tidak dapat disalurkan sebagai kredit dalam SBN sehingga kepemilikan mereka melebihi investor asing. Sementara, prospek saham CPO ditopang bila perekonomian China terus menunjukkan penguatan.
Budi menilai, pelemahan rupiah saat ini berlebihan dan berharap bisa menguat hingga akhir tahun. Arus masuk modal asing tetap diharapkan mengingat suku bunga di luar negeri saat ini terbilang terendah dalam sejarah sebagai dampak stimulus masif berbagai bank sentral. Bahana TCW kini merupakan bagian dari Indonesia Financial Group.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: