UU Ciptaker Klaster Lingkungan, Mantan Menteri LHK: Bukan untuk Rugikan Pekerja dan Lingkungan
Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998, Sarwono Kusumaatmadja percaya UU Cipta Kerja berdaya dalam membangun tren investasi ramah lingkungan. Karena, menurutnya sudah jamannya bahwa investasi ramah lingkungan masuk ke dalam pasar investasi dan untuk itu semua pengaturan tentang investasi lingkungan hidup harus dipermudah. Dipermudah bukan berarti mengorbankan lingkungan. Karena pengaturan lingkungan hidup saat ini seperti halnya pengaturan di bidang lainnya masih dapat disederhanakan, namun tetap efektif. Baca Juga: Demokrat Tolak UU Ciptaker, SBY: Selamat Berjuang!
Sarwono pun menyayangkan adanya persepsi umum, andaikata investasi dimudahkan otomatis itu berarti para pekerja dan lingkungan hidup itu dirugikan. Menurutnya, keberadaan UU Cipta Kerja adalah respon keadaan saat ini
“Karena kita sangat ketinggalan dalam regulasi. Birokrasi juga terlalu gemuk dan aturan kita saat ini satu sama lain juga tidak sinkron sehingga kemudian pemerintah, dalam hal ini Pak Jokowi mengambil inisiatif untuk membuat apa yang disebut Omnibus Law di mana segala macam aturan yang simpang siur dan saling bertentangan dengan birokrasi yang gemuk ini diselesaikan sekaligus.” katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (26/10/2020).
Namun anggapan yang kuat berlaku, “Dalam persepsi umum, andaikata investasi dimudahkan, otomatis para pekerja dan lingkungan hidup dirugikan. Nah, pemikiran seperti ini dominan. Sehingga pemerintah harus punya komunikasi yang bagus tentang UU Cipta Kerja ini agar orang yakin bahwa undang-undang ini tidak mengorbankan lingkungan atau para pekerja demi investasi”. Menurutnya, karena tema utama yang ditonjolkan adalah mempermudah investasi, orang otomatis berpikir lingkungan hidup dikorbankan, “Padahal kan tidak. Karena banyak sekali instrumen-instrumen lingkungan hidup yang sudah waktunya diperkuat perannya."
Ia mengambil contoh dalam pengelolaan tata ruang. “Misalnya Kajian Lingkungan Hidup Strategis, kemudian penilaian industri-industri berbasis resiko. Kalau risiko nya rendah tidak perlu AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), Kalau risikonya sedang juga tak perlu AMDAL asalkan UPL dan UKL-nya (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) bagus. Kemudian semua perizinan di bidang lingkungan harus disatukan dalam izin usaha. Sehingga kalau terjadi masalah di bidang lingkungan, maka izin usahanya dicabut. Kalau sekarang kan tidak. Jadi segmentasi aturan ini yang sedang dibenahi."
Mispersepsi menurutnya terjadi karena yang paling getol menyambut baik UU Cipta Kerja adalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia, “Jadi orang otomatis berpikir kalau Kadin diuntungkan, pasti kita dirugikan. Jalan pikiran sudah telanjur begitu, padahal tidak. Kita bisa membuat semacam solusi (win-win) untuk semua pihak dengan melakukan perombakan pada arsitektur regulasinya dan juga dengan penyederhanaan birokrasi,” kata Sarwono yang pada periode 1988 hingga 1993 menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Penggunaan teknologi pemantauan akan mempercepat industri besar berbasis pengelolaan lahan dan sumber daya alam mencapai keberlanjutan utamanya dalam aspek kelestarian lingkungan. ”Karena semua informasi tentang lingkungan hidup itu bisa disusun lebih dulu. Di mana lembaga yang mengelola sistem pemantauan tersebut tidak memiliki kepentingan merahasiakanhasil pemantauannya. Jadi kalau negara lain cepet menyelesaikan soal-soal itu mengapa negara kita tidak bisa?” ujarnya.
Dirinya berpendapat Pemerintah belum terlambat karena dalam rangka menyusun peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, masih terbuka ruang untuk melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Sarwono sepakat UU Cipta Kerja klaster lingkungan hidup akan mempercepat industri besar berbasis pengelolaan lahan dan sumber daya alam mencapai keberlanjutan utamanya dalam aspek kelestarian lingkungan karena semua informasi tentang lingkungan hidup itu bisa disusun lebih dulu
“Presiden Joko Widodo harus berani mengambil resiko membuat langkah besar, karena membiarkan keadaan seperti saat ini sangat berbahaya .Kita akan terperangkap dalam kelompok negara berpenghasilan medium tapi disaat yang sama kita memiliki mayoritas penduduk dalam usia produktif yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan ini. Nah, kita akan stuck. Sebagai bangsa tidak bisa menemukan energi positif untuk meraih berbagai kesempatan yang ada di depan mata kita." Sarwono menilai hal ini sebagai pekerjaan besar sekaligus berisiko. “Namun jika ditunda, kita akan menghadapi problem yang lebih besar. Mudah-mudahan penanganan komunikasinya dapat diperbaiki secepatnya”, tambahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: