Posting-an foto Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan di media sosial dengan pose sedang membaca buku berjudul How Democracies Dies yang ditulis oleh pakar politik dari Universitas Harvard Amerika, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt tentu memiliki maksud dan tujuan.
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo mengatakan, yang mengetahui persis tujuan posting-an Anies tentu Tuhan dan Anies sendiri. Publik hanya bisa menduga-duga dan menafisrkan apa maksud dan tujuan di balik posting-an Anies ini. Dalam dunia maya, orang bebas memberi komentar. Pro dan kontra tak bisa dihindari.
"Saya sendiri menduga, setidaknya ada dua tujuan di balik posting-an Anies. Pertama, boleh jadi Anies sekadar ingin pamer bukunya dan ingin menunjukkan intelektualitasnya ke khalayak. Bisa jadi, ini bagian dari strategi personal branding untuk membangun persepsi publik yang positif agar Anies dipersepsikan sebagai pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual," tutur Karyono, Selasa (24/11/2020).
Baca Juga: Gegara Lagi-lagi Dicap Lembek, Anies Baswedan Lagi Intropeksi Diri
Kedua, kata dia, posting-an tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk kritik terhadap kondisi demokrasi di Indonesia. Jika dilihat dari judul dan isi buku yang di-posting Anies menggambarkan keadaan pemilu di AS pada 2016 dan di antaranya mengulas tentang masa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menurutnya, dalam bahasa Indonesia buku itu diterjemahkan: Bagaimana Demokrasi Mati. Buku itu menyebutkan demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia.
Lebih lanjut Karyono menilai posting-an tersebut seolah menunjukkan Anies sedang memainkan drama politik satire yang diarahkan kepada pemerintahan saat ini. Tetapi, jika benar Anies sedang memainkan drama politik tersebut, menurut dia, langkah Anies justru bisa menjadi bumerang. Pasalnya, ada paradoksal dalam diri Anies.
Di satu sisi, dalam posting-annya Anies seolah menunjukkan pembelaan terhadap demokrasi dan mengkritik kebijakan pemerintah pusat yang dinilai semena-mena dan bisa menyebabkan matinya demokrasi di Indonesia. Tetapi, di sisi lain, dia sendiri merupakan pemimpin (Gubernur) yang lahir dari proses demokrasi yang dinilai cacat.
"Ia adalah pemimpin yang lahir dari konflik SARA saat pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Penggunaan isu SARA sebagai propaganda dan strategi dalam kontestasi elektoral tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi berpotensi membuat demokrasi mati," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: