Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bos Survei: Habib Rizieq Bangkitkan Kekhawatiran

        Bos Survei: Habib Rizieq Bangkitkan Kekhawatiran Kredit Foto: Antara/Muhammad Iqba
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Mayoritas publik lebih setuju Indonesia tetap sebagai negara kesatuan NKRI. Mereka yang menghendaki demikian mencapai 81,5 persen.

        Sedangkan yang mengingikan Indonesia menjadi negara agama hanya dikehendaki sebanyak 13,3 persen responden saja. Sementara sisanya sebanyak 5,2 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab. Baca Juga: Ya Allah, Tega Banget! Kok Tega Bilang Habib Rizieq Masuk Rumah Sakit, Ini Kondisi..

        Hal itu sebagaimana hasil survei Center for Political Communication Studies (CPCS) dalam siaran persnya, dilansir dari Antara, Rabu (25/11).

        “Hampir mayoritas mutlak publik menyatakan siap untuk mempertahankan tegaknya NKRI dan menolak wacana agar Indonesia menerapkan agama sebagai dasar kehidupan bernegara,” kata Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta SK.

        Tri Okta mengatakan, kembalinya Imam Besar FPI (Fron Pembela Islam) Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi membangkitkan pula kekhawatiran soal ancaman terhadap NKRI.

        Selama ini, Rizieq gencar menyuarakan penegakan syariat Islam melalui aksi-aksi sweeping. Hingga transformasi dalam gerakan politik pada Pilkada DKI Jakarta yang sangat kental nuansa politik identitas atau SARA.Baca Juga: Pangdam Jaya Tetiba Bilang: FPI Bukan Musuh, Habib Rizieq Orang Berilmu

        Sejak berdirinya Republik Indonesia, kata dia, para founding fathers menyusun konsensus Pancasila sebagai dasar negara kesatuan di tengah kebinekaan masyarakat Indonesia.

        Bagi kalangan nasionalis, Pancasila adalah ideologi yang sudah final, sebagai titik kompromi dari keberagaman.

        Mengubah Pancasila dan NKRI berarti berpotensi memecah-belah bangsa Indonesia.

        Sayangnya, dalam beberapa kurun waktu belakangan gejolak politik identitas seakan-akan mengancam kesepakatan bangsa tersebut.

        Lahirnya perda-perda bernuansa keagamaan hingga munculnya paham khilafah menimbulkan resistensi dan menguatkan kembali semangat untuk mempertahankan Pancasila dan NKRI.

        “Menguatnya politik identitas itu memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, yang nyaris membelah masyarakat dalam polarisasi yang belum usai hingga sekarang,” kata Okta.

        Namun, kuatnya dukungan publik terhadap NKRI dan penolakan terhadap negara agama menjadi sinyal optimisme.

        Para elite politik dan tokoh bangsa diharapkan untuk terus menjaga komitmen dan tidak latah memainkan politik identitas demi kepentingan elektoral.

        “Keberagaman memang menjadi fitrah bangsa ini, karena itu bangsa kita memilih untuk bersatu alih-alih bercerai-berai,” ujarnya.

        Survei CPCS dilakukan pada 11-20 November 2020, dengan jumlah responden 1.200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.

        Survei dilakukan melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019.

        Margin of error survei sebesar plus minus 2,9 persen degan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: