Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        DPR RI Disebut Lembaga Paling Korup oleh Lembaga Internasional, Formappi: Tidak Mengejutkan!

        DPR RI Disebut Lembaga Paling Korup oleh Lembaga Internasional, Formappi: Tidak Mengejutkan! Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        DPR RI disebut sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Hal tersebut merujuk dari hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII).

        Menanggapi hal tersebut, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus mengatakan sebetulnya hasil survei TII tak terlalu mengejutkan. Karena faktanya DPR masih dipersepsikan mayoritas masyarakat sebagai lembaga negara terkorup.

        “Ini tak terlalu mengejutkan. Walau hampir setahun terakhir gelombang penangkapan oleh penegak hukum terhadap anggota DPR nyaris tak terdengar, namun publik rupanya masih cenderung menganggap DPR sebagai lembaga terkorup,” kata Lucius, Jumat (4/12).

        Persepsi soal korupsi tak hanya didasarkan pada ada atau tidaknya penangkapan atau OTT terhadap anggota legislatif. Tetapi ada faktor lain yang membuat persepsi itu tetap melekat pada benak publik.

        Baca Juga: Dua Tersangka Korupsi Suap Ekspor Benih Lobster Masih Buron

        Salah satunya faktor utama yang membuat DPR dianggap sebagai lembaga terkorup karena lembaga legislatif ini dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lemahnya penegakan hukum terkait korupsi melalui revisi UU KPK.

        "Revisi UU KPK masih dianggap sebagai cara pelaku atau pembela koruptor mengamankan diri dan tindakan korupsi mereka,” katanya.

        Oleh sebab itu, kalau belakangan tak terdengar adanya anggota DPR yang tertangkap karena korupsi, itu bisa jadi bukan karena praktik korupsi tak lagi dilakukan oleh DPR.

        "Tetapi lebih karena lembaga yang melakukan penindakan terhadap korupsi sudah dibuat tak berdaya oleh DPR melalui revisi UU KPK,” ungkapnya.

        “Maka tak mengherankan jika DPR dianggap sebagai lembaga terkorup karena biang pelemahan penegakan korupsi muncul dari DPR,” tambahnya.

        Alasan lain, yang menurutnya membuat DPR tetap melekat sebagai lembaga yang dianggap korup adalah karena tak ada perubahan signifikan dalam tata kelola DPR menjadi lebih transparan dan akuntabel di bawah kepemimpinan Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI.

        “Proses pembuatan kebijakan seperti pembahasan anggaran bahkan pembuatan UU cenderung dilakukan secara tertutup, tanpa melibatkan partisipasi publik dan juga tanpa pertanggungjawaban kepada publik,” ungkapnya.

        Kemudian, proses pembahasan anggaran yang tertutup selalu terkait erat dengan potensi penyimpangan anggaran yang melibatkan DPR. Karenanya semakin DPR tertutup dalam melakukan pembicaraan kebijakan-kebijakan terkait anggaran.

        “Sudah jelas mereka makin dianggap sedang melakukan kongkalingkong untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok,” tuturnya.

        Termasuk, dengan program-program e-parlemen, atau parlemen modern yang selalu digaungkan pimpinan DPR agar dianggap sebagai lembaga terbuka.

        “Tetapi faktanya itu semua hanya proyek saja. karena tidak ada budaya keterbukaan yang serius yang muncul di DPR,” tuturnya.

        Diketahui, hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII) menyatakan DPR adalah lembaga paling korup di Indonesia. Ada 51 persen responden berpendapat demikian. TII menuturkan temuan tersebut sejalan dengan tren di Asia, di mana parlemen menjadi institusi publik yang paling korup.

        Selain DPR, pihak yang dianggap korup berdasarkan survei yakni pejabat pemerintah daerah dengan persentase 48 persen, pejabat pemerintahan 45 persen, polisi 33 persen, pebisnis 25 persen, hakim/pengadilan 24 persen. Kemudian Presiden/menteri 20 persen, LSM 19 persen, bankir 17 persen, TNI 8 persen dan pemuka agama 7 persen.

        Survei GCB 2020 di Indonesia ini berdasarkan wawancara melalui telepon dengan menggunakan metode Random Digital Dialing (RDD) dengan kontrol kuota dalam pemilihan sampel dengan margin of error +/- 3.1 persen.

        Survei melibatkan 1.000 responden rumah tangga, usia di atas 18 tahun dengan latar belakang pendidikan, gender, dan lokasi yang beragam. Ada pun periode pengambilan data berlangsung pada 15 Juni hingga 24 Juli 2020.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ferry Hidayat
        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: