Penting! Raditya Dika Ingatkan Pentingnya Terbuka Soal Keuangan dengan Pasangan
Pembahasan soal finansial selalu menarik bagi Raditya Dika bersama Ligwina Hananto, seorang financial planner. Pasalnya, keuangan itu tak hanya harus disimpan sendiri, tetapi juga harus dibicarakan kepada pasangan.
Menurut Ligwina, membahas finansial harus dilakukan dari sebelum menikah yaitu saat masih berpacaran agar tidak 'membeli kucing dalam karung'. Pasalnya, orang yang memiliki sifat boros masih bisa berubah tetapi tabiat asli tidak bisa dikendalikan. Jika pasangan memiliki tabiat A, harus dilihat apakah bisa diterima atau tidak, serta bagaimana konsekuensinya.
Sayangnya, tak semua pasangan terbuka soal keuangannya. Padahal, hal itu perlu dilakukan karena penyebab pertengkaran rumah tangga yang paling besar adalah soal keuangan. Ligwina menambahkan bahwa seharusnya diskusi soal uang bisa lebih mudah daripada soal cinta.
Baca Juga: Hidup Minimalis Jadi Kunci Kaya Raya bagi Raditya Dika, Begini Tipsnya!
Lebih lanjut, Ligwina bercerita bahwa isu terbesar bagi pria adalah: Bagaimana membicarakan ke pasangan bahwa ia memiliki tanggungan kepada orang tua?
Sementara isu terbesar bagi wanita adalah: Bagaimana jika gaji pasangannya lebih kecil darinya tetapi meminta untuk berhenti bekerja?
Wanita sering takut membahas itu karena khawatir dianggap materialistis. Sementara pria takut durhaka kepada orang tua. Menurut Ligwina, ini tak hanya soal keuangan, tetapi juga budaya. Jika budaya keuangan di keluarganya A, maka masalahnya pun akan terbawa sampai pernikahan. Jika dikeluarga sering meminjamkan uang maka masalahnya akan ikut.
"Aku tuh selalu percaya uang itu bukan masalah, karena semuanya bisa dihitung. Sementara, masalahnya adalah pengambilan keputusan tidak memakai itu (red: perhitungan) tetapi emosi," ujar Ligwina.
"Jadi balik lagi kesitu, kalau mau mengambil keputusan keuangan dihitung atau dirasakan," lanjut Ligwina.
Maka jawaban dari pihak pria yang memiliki tanggungan kepada orang tua adalah nafkah itu wajib tanpa syarat (bagi Muslim) ke anak istri, berapapun itu. Jika melihat dari skala prioritas, menafkahi anak istri lebih tinggi daripada menafkahi ibu.
Jika memiliki adik dan kakak, maka diskusikan bersama, hitung budget bersama. Jangan sampai mengingkari nafkah anak istri karena takut durhaka kepada orang tua. Kedua hal ini memang dosanya berat. Maka sebisa mungkin harus diseimbangkan.
Sementara itu jawaban bagi pihak wanita yang gajinya lebih besar dari pria dan diminta untuk berhenti kerja yakni harus dicari tahu terlebih dahulu apa alasan meminta berhenti bekerja. Jika karena egonya terluka lantaran gaji wanitanya lebih tinggi, maka menurut Raditya Dika itu tidak penting. Atau karena si pria ingin wanitanya hidup di level dia, maka wanitanya harus bisa menjawab siap atau tidak.
Ligwina pun menceritakan bagaiman proses keuangan hidupnya. Ia pernah menjadi ibu rumah tangga karena harus mengurus anak yang pertama. Kemudian yang kedua, Ligwina memiliki bisnis tetapi masih diberikan nafkah oleh suami.
Lalu yang ketiga, suami Ligwina berhenti bekerja tetapi masih memiliki aset seperti restoran dan apartemen, jadi hanya bergantung dari itu. Di titik itu, Ligwina memberikan bantuan kepada kebutuhan rumah tangga sekaligus membantu suaminya.
Dan terakhir yang keempat, saat suaminya sudah bekerja lagi dan ia pun memiliki penghasilan. Maka, suaminya membayar sebagian besar kebutuhan hidup dan Ligwina membayar sebagian. Karena itulah Ligwina mengingatkan bahwa proses mengatur keuangan itu tak bisa saklek lantaran uang itu selalu bergerak, dinamis seperti proses hidup kita.
Jadi, jangan berharap mengatur keuangan akan terus sama karena hidup kita pun bisa berubah. Radit pun menyimpulkan bahwa yang terpenting bagaimana komunikasinya dan dipertegas oleh Ligwina bahwa itu berarti bukan masalah keuangan.
Karena itu, Ligwina mengembalikan ke wanita itu, jika berhenti bekerja, siap atau tidak dengan konsekuensi yang akan didapatkan.
"Aku itu sedih ketika ada laki-laki yang tidak bisa menafkahi sebagaimana perempuan itu mau tapi dia tidak membuka pintu bagi perempuan itu untuk membantu ekonomi keluarga," ujar Ligwina.
Ketika diminta berhenti bekerja di saat tidak memiliki isu finansial, maka tidak apa-apa. Tetapi jika sudah ada isu finansial di depan mata yaitu saat ego laki-laki terluka ketika perempuannya berhasil, maka yang ada masalah ya laki-lakinya, bukan perempuannya.
Bahkan, kebanyakan isu mengatakan bahwa masalah keuangan di rumah tangga justru berantakan ketika pendapatan istri lebih besar daripada suami. Hal ini yang harus diluruskan.
Ligwina mengatakan bahwa 'jubah' kehebatan di kantor sebaiknya ditinggalkan, dan jadilah peran tersendiri di rumah sebagai ibu dan istri yang bisa mendengarkan suami. Pasalnya, ego laki-laki harus dipenuhi, cukup buat laki-laki merasa berkuasa.
"Merasa aja ya, bukan sebenarnya. Dibikin ilusi aja dan banyak laki-laki yang tak menyadari itu," ujar Ligwina tertawa.
Pada akhirnya, sebagai suami istri harus bisa kembali pada kesepakatan bersama. Karena, tidak ada masalah yang tak selesai asalkan didiskusikan.
Sebagai financial planner, bagi Ligwina kunci agar bisa menjadi kaya raya adalah memiliki pendapatan yang besar yaitu ketika kita bisa membangun karir dan terus meningkatkan pendapatan. Jadi, tak hanya soal mengelola keuangan tetapi juga menambah penghasilan.
Meski demikian, tetap harus memiliki disiplin dalam keuangan, seperti berapa persen ditabung, berapa persen untuk investasi, dan lain sebagainya. Maka, kebiasaan itu akan ikut bersama ketika pendapatan bertambah dan meningkat.
Lebih lanjut, Ligwina mengatakan bahwa energi kita harus dihabiskan pada bagaimana cara meningkatkan karir dan pendapatan. Jangan malah dihabiskan hanya untuk mengelola uang.
"Jadi, akhirnya mengatur karir itu perlu mendapat perhatian lebih besar daripada hanya berbicara investasi di mana," ujar Ligwina.
Ligwina juga menyoroti bagaimana budaya di Indonesia yang selalu berpikir akan ada orang lain yang bakal mengurusi urusan kita. Sebagai contoh, kebanyakan rakyat Indonesia sedikit-sedikit menyalahi pemerintah. Seharusnya, bisa lebih bertanggungjawab atas diri sendiri.
Bisa dimulai dengan cara mengelola gaji, katakanlah ketika gaji 100 persen, maka untuk utang maksimal itu 30 persen. Karena itu setiap ingin berutang pilih-pilih, tidak semua utang siap dibayarkan dari gaji kita.
Selanjutnya pengeluaran rutin yaitu 40-60 persen, pengeluaran rutin ini sesuai kebutuhan. Lalu, menabung dan investasi yaitu 10-30 persen, dalam dana ini harus ada dana pensiun, tabungan pendidikan anak atau bahkan tabungan liburan. Selanjutnya, menolong orang lain yaitu 2,5 persen selayaknya zakat. Terakhir lifestyle, untuk senang-senang yaitu maksimal 20 persen.
Dalam hal ini terlihat bahwa memiliki financial plan yang baik bukan berarti dilarang, tetapi dibatasi sesuai kemampuan.
Namun, bagi pekerja lepas atau pekerja seni yang pendapatannya tak tetap, caranya adalah total pengeluaran bulanan dibagi dengan cara yang sama. Jadi, kalau total pengeluaran bulanan 10 juta, sekalipun pendapatan bulan ini mencapai 15 juta, maka harus tetap dikeluarkan 10 juta.
Ligwina mengatakan bahwa ada kritiknya bagi para perempuan di luar sana yaitu jika ingin mendapatkan kepercayaan suami untuk mengelola keuangan, tunjukkan bahwa kamu memang bisa mengelola keuangan pribadi.
Karena itu, Ligwina mendorong wanita untuk menghasilkan. Ia pun membagikan 4 pilar keuangan yaitu menghasilkan, berbelanja, berbagi dan menabung. Jikalau memang tidak bekerja kantoran, lakukan kegiatan lain yang menghasilkan seperti berdagang atau bekerja lepas (freelance).
Hal ini dapat membuat para wanita bertanggungjawab dan melek secara finansial. Jadi, tak hanya menunggu uang turun dari suami. Karena, hubungan transaksional adalah hubungan yang tidak baik, wanita akan terus mendorong laki-laki untuk memberinya uang lagi dan lagi.
Ligwina berujar bahwa orang yang tak pernah belajar menghasilkan uang akan sulit mengapresiasi uang, apalagi investasi.
Adapun masalah dasar wanita di Indonesia adalah ketika saat masih menjadi anak, akan berpikir "Ada ayah" lalu ketika sudah menjadi istri, akan berpikir "Ada suami". Lantas, bagaimana bisa mengatur uang jika cara mengapresiasinya saja tidak tahu?
Banyak juga rumah tangga yang hancur karena wanitanya tidak tau cara mengatur keuangan. Selain itu, Ligwina juga mengungkap bahwa orang yang pengeluarannya berantakan ada emosi yang terganggu atau bahkan ada masalah yang lebih besar di baliknya karena itu harus diajarkan sejak dini.
"Jadi, ngajarin ke sekolah itu bukan nabungnya, tetapi cara berbelanja karena berakhir pada pengambilan keputusan," ujar Ligwina. "Kita harus mempelajari cara berbelanja sepenting cara berinvestasi."
Radit pun bertanya bagaimana cara mengajari cara mengelola uang ke anak. Ligwina menjawab bahwa tak boleh ada informasi yang terputus.
Sebagai contoh, ketika anak melihat orang tuanya mengambil uang ke ATM, anak itu akan berpikir bahwa uang itu mudah untuk didapatkan yakni cukup ke ATM.
Karena itu, Ligwina mengatakan perlu dijelaskan secara detail bagaimana proses sampai uang itu berada di ATM yaitu dengan bekerja dan bank akan menaruh uang itu di ATM. Lebih lanjut, harus diingatkan ke anak bahwa mengambil uang di ATM tak boleh terus-menerus.
Sementara itu, proses mengajari anak mengelola keuangan jelas tidak mudah, tetapi harus bersabar. Sebagai orang tua, sebaiknya juga mulai ajari cara menyisihkan keuangan, berapa persen untuk berbagai dan berapa persen untuk ditabung.
Dengan demikian, saat anak beranjak dewasa, anak akan terbiasa dengan proses tersebut sehingga dari alam bawah sadarnya akan memiliki cara berbelanjanya sendiri.
Ligwina melihat hal itu terjadi pada anak-anaknya. Saat masih kecil baru memegang uang lebaran, anak-anaknya akan langsung meminta untuk berbelanja. Tetapi, Ligwina menahan dan mengajarkan bahwa harus ada yang disedekahkan dan ada yang harus ditabung, sisanya baru boleh dibelanjakan.
Lalu, ketika anak Ligwina sudah memasuki usia SMP dan SMA, mereka tidak lagi memiliki euforia belanja yang tinggi. Ligwina pun menegaskan bahwa pendidikan keuangan memang harus dari rumah.
Pasalnya, ketika anak bersekolah dan memiliki teman-teman dari kalangan atas, sebisa mungkin tanamkan value tersebut kepada anak sejak dini sehingga anak tak mudah terpengaruh.
Radit kembali bertanya apakah boleh memberikan tabungan anak yang selama ini dikumpulkan orang tua saat anak berusia 18 tahun?
Bagi Ligwina, usia yang ideal adalah 21 tahun. Tetapi kembali lagi ke anak tersebut apakah sudah cukup dewasa untuk mengelola uangnya sendiri atau belum serta bagaimana cara dia menahan keinginan belanja. Di saat itu pula boleh diajarkan investasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: