Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tingkat Kematian Virus Nipah China 75%, Pakar Ramalkan Jadi Pandemi Baru

        Tingkat Kematian Virus Nipah China 75%, Pakar Ramalkan Jadi Pandemi Baru Kredit Foto: IStock
        Warta Ekonomi, Amsterdam -

        Tingkat kematian akibat wabah virus Nipah di China dilaporkan mencapai 75%. Access to Medicine Foundation melaporkan bahwa wabah ini berpotensi menjadi risiko pandemi besar berikutnya, di tengah ketidaksiapan perusahaan farmasi raksasa. 

        “Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah bisa meledak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang kebal obat,” kata Jayasree K Iyer, direktur eksekutif Access to Medicine Foundation yang berbasis di Belanda, dilansir The Guardian, Senin (1/2/2021).

        Baca Juga: Waspada... Ilmuan Ungkap Potensi Pandemi Baru dari Virus Nipah

        Virus ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah, yang dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak. Ini dapat menyebabkan ensefalitis, atau radang otak, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

        Perawatan yang biasa dilakukan adalah perawatan suportif. Wabah virus Nipah di negara bagian selatan India, Kerala, pada 2018 merenggut 17 nyawa.

        Pada saat itu, negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) untuk sementara melarang impor buah dan sayuran beku dan olahan dari Kerala sebagai akibat dari wabah di sana.

        Selain itu, petugas kesehatan saat itu percaya bahwa wabah Nipah di Bangladesh dan India mungkin terkait dengan minum sari kurma.

        Laporan Access to Medicine Index 2021 melihat tindakan dari 20 perusahaan farmasi terkemuka di dunia untuk membuat obat, vaksin, dan diagnostik lebih mudah diakses.

        Ditemukan bahwa penelitian dan pengembangan untuk Covid-19 telah meningkat dalam setahun terakhir, tetapi risiko pandemi lainnya sejauh ini tidak tertangani.

        “Indeks ini disiapkan selama krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam satu abad --yang telah mengungkapkan ketidaksetaraan kronis akses ke obat tidak seperti sebelumnya. Namun, setelah bertahun-tahun mendorong perencanaan akses, kami sekarang melihat pergeseran strategis ke arah ini. Hal ini secara radikal dapat mengubah seberapa cepat akses ke produk baru dicapai-- jika kepemimpinan perusahaan bertekad untuk memastikan orang yang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak berada di antrean terakhir, ” kata laporan itu mengutip Jayasree.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: