Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Beneran Buzzer Hadir Karena Keterbukaan Dunia Digital dan Media Sosial?

        Beneran Buzzer Hadir Karena Keterbukaan Dunia Digital dan Media Sosial? Kredit Foto: Unsplash/ freestocks
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Buzzer selama ini telah dianggap sebagai tindakan negatif yang menyuarakan isu negatif untuk menyerang seseorang atau instansi. Padahal buzzer juga ada yang positif, yang menyuarakan hal-hal positif bahkan membela isu-isu nasionalisme dan melawan kelompok intoleran, dan kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. 

        Demikian diungkapkan oleh Direktur Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo. Menurutnya justru hadirnya buzzer ini juga karena buah demokrasi, media sosial, keterbukaan informasi dunia digital. Siapapun juga bisa diorganisir sebagai kelompok, untuk digunakan baik politik maupun yang lain, dan bisa digunakan untuk kepentingan apapun, bahkan sering sekeli buzzer digunakan untuk kepentingan tertentu.  Baca Juga: Para Buzzer Ingat Fatwa MUI, Haram Lakukan Hal Ini di Media Sosial

        Namun demikian, perspektif buzzer menjadi negatif bila digunakan untuk kelompok tertentu dalam hal ini menyerang pemerintahan. Sebaliknya, ketika ada suara positif, malah pemerintah yang dituduh memelihara buzzer. 

        "Kadang tidak fairnya, pemerintah dituduh mengorganisir, atau memelihara. Padahal pihak oposisi yang kerap menggunakan buzzer untuk menyerang pemerintah," ungkap Karyono ketika dihubungi wartawan, Minggu (14/2/2021).  Baca Juga: Benarkah Sakti Wahyu Trenggono Gandeng Buzzer di KKP?

        Begitu juga, kata dia, kekuatan kelompok garis keras, menggunakan buzzer untuk mendowngrade pancasila, lalu seakan meninggikan idiologi lain, hal itu dilakukan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

        "FPI juga menggunakan itu (buzzer), PKS juga menggunakan buzzer, untuk menyerang pemerintah," kata dia.

        Untuk mengahalau itu semua, Karyono sepakat pemerintah menggunakan UU ITE, karena untuk menjerat kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan buzzer. Sementara, penggiat media sosial Ade Armando menganggap keberadaan buzzer dalam demokrasi bukanlah hal baru, sehingga tidak perlu untuk ditertibkan.

        Menurut Ade, penggunaan influencer dan buzzer untuk mensosialisasikan sebuah program atau kebijakan tertentu merupakan hal yang tak terhindarkan di era digitalisasi seperti sekarang ini. 

        "Malah bodoh sekali ketika kita tahu persis bahwa kita bisa meraih sasaran dengan lebih cepat dan luas jika menggunakan influencer, tetapi tidak menggunakannya," ujar Ade.

        Hal ini lumrah, karena terjadi dan siapa pun dapat menggunakan influencer atau buzzer. Kalaupun, ada penindakan sejumlah orang yang mengkritik pemerintah itu bukan lantaran karena kritiknya. Mereka yang mengkritik kemudian dipolisikan, karena polisi mengendus ada unsur pidananya, seperti Refly Harun, Rocky Gerung sampai Din Syamsuddin yang masih aman meski sering mengkritik.

        Memang ada kasus pengkritik yang kemudian berakhir di meja hukum, misalnya kasus Ustaz Maaher, Ahmad Dhani dan Habib Rizieq. Namun dalam tiga kasus ini, menurut Ade, mereka terjerat unsur pidana.

        "Saya nggak ingat orang kritik Jokowi terus kena serangan hukum. Saya kan sering dianggap buzzer dibayar pemerintah untuk lawan Habib Rizieq, lho kan saya nggak dibayar pemerintah. Saya katakan buzzer bagian sah saja dalam demokrasi, buzzer ini orang-orang sipil yang bicara membela yang dianggap benar, ini bukan negara, itu orang-orang sipil," jelas dia melanjutkan.

        Dalam kasus yang dijerat dengan UU ITE, Ade melihat polisi sudah berusaha mungkin menjaga dalam koridor demokrasi. Dia tidak melihat bukti yang cukup bahwa pemerintah membiarkan aparatnya mengekang kebebasan ekspresi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: