Guru Besar Ilmu Tanah IPB University, Prof Budi Mulyanto mengatakan, bertele-telenya penyelesaian klaim kawasan hutan dan tata batas selalu dijadikan isu utama kampanye hitam untuk menyudutkan sawit Indonesia. Karena itu, Pemerintah perlu segera menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan serta mempertegas batas-batasnya melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
“Sebagian besar kampanye hitam global terhadap sawit selalu dikaitkan dengan persoalan lahan. Seolah-olah semua lahan perkebunan sawit ada dalam kawasan hutan. Padahal masalah utamanya adalah klaim kawasan yang belum jelas serta penyelesaian tata batas yang belum tuntas,” kata Budi Mulyanto dalam diskusi online #LetsTalkAboutPalmOil sesi ke-34 di Jakarta, belum lama ini. Baca Juga: Uni Eropa Butuh Nikel, Tapi Diskriminasi Sawit Indonesia
Budi Mulyanto memperkirakan, dari luasan kawasan hutan 120 juta hektar, areal yang telah selesai di tatabatas (temu gelang) kurang dari 10 persen. Lambannya penyelesaian tata ini inilah yang memicu konflik tenurial antara pihak yang punya berkepentingan dengan kawasan hutan serta menjadi sumber utama kampanye hitam sawit global. Dia juga mengingatkan bahwa dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.
Baca Juga: Kelapa Sawit Layak Jadi Industri Esensial Nasional
“Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimat atau sederhananya, legal tapi punya pengakuan yang rendah dari masyarakat,” kata Budi Mulyanto yang juga Ketua Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI).
Menurut Budi Mulyanto, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis. Batas itu harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie. Persoalan tata batas yang tidak tuntas, karena dalam prakteknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia.
Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut.
“Padahal, sejak jaman belanda sudah ada pengakuan atas hak-hak pribumi, namanya Indonesisch bezitsrecht. Maknanya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui sebagai bagian dari hak azasi manusia,” kata Budi Mulyanto.
Budi juga menyarankan, ke depan perlu ada satu lembaga yang diberi otoritas untuk mengatur pemanfaatan tanah. Bentuknya bisa Lembaga, Kementerian atau Kemenko dengan otoritas penuh dari Presiden. Menurutnya, idealnya penyelesaian tata ruang dan batas kawasan hutan dilakukan dengan terlebih dulu mengeluarkan semua tanah yang telah memiliki legalitas.
Hal ini karena, hak atas tanah pada prinsipnya adalah bersifat final dan dalam prosesnya telah mengikuti ketentuan perundangan yang sudah ada dan pastinya melibatkan instansi pemerintahan terkait. Kebijakan ini perlu disepakati sebagai bentuk saling menghormati antara institusi pemerintahan dan masyarakat.
“Selama ini, ego sektoral antara institusi pemerintahan mendominasi dan kerap menempatkan masyarakat termasuk pelaku usaha sebagai obyek kesalahan. Ke depan hal seperti ini harus dihindari,” kata Budi Mulyanto.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: