Afrizal Sinaro, Pembina Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam, menyayangkan keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghapus frasa "agama" dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Dia juga meminta agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk kembali ke jalan yang benar.
"Wahai Mas Menteri, kembalilah ke jalan yang benar. Pendidikan harus dibangun di atas fondasi agama dan iman yang kokoh," kata dia sebagaimana dikutip dari Republika di Jakarta, Senin (8/3/2021).
Baca Juga: DPR Ikut-Ikutan Sentil Nadiem Makarim: Masukkan Frasa Agama Hukumnya Mutlak!
Menurutnya, peniadaan kata "agama" itu sama halnya dengan hilangnya kepercayaan negara pada agama untuk membangun peradaban yang mulia, atau masyarakat yang madani. Penghilangan frasa "agama" juga membuat posisi agama bergeser dari hakikatnya, kata dia.
"Tampaknya agama tidak lagi dipercaya mampu untuk membangun peradaban mulia, masyarakat madani. Agama menjadi frasa yang ditakuti, agama dianggap sebagai penghambat kemajuan," ujarnya.
Dia menjelaskan, sejatinya, visi pendidikan Indonesia harus sejalan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yaitu "mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang ber-Iman dan ber-Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia".
Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Mahnan Marbawi, juga menanggapi hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang dirumuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mahnan mengatakan, peta jalan pendidikan tanpa frasa agama tidak akan melahirkan manusia yang mampu melakukan apropriasi diri, yakni mengintegrasikan pengetahuan bagi perkembangan sosial.
Padahal, tantangan pada masa depan, mulai dari disrupsi teknologi, perubahan sosial-budaya, hingga perubahan iklim, akan melahirkan disrupsi budaya, agama tanpa makna, dan perubahan interaksi sosial. "(Karena itu) Pendidikan harus dibangun di atas fondasi agama dan kemanusiaan. Bukan untuk mengejar hedonisme, individualistik, dan matrialistik," kata Mahnan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/3/2021).
Dia mengatakan, di tengah tantangan saat ini, orientasi masyarakat akan lebih banyak kepada pemenuhan indrawi dan materialistik. Karena itu, pendidikan jangan sekadar melahirkan manusia yang mampu beradabtasi dan berkolaborasi dalam memenuhi capaian-capaian kesuksesan. Selain itu, pendidikan jangan hanya menjadi pemenuhan dahaga penyakit diploma. Itu yang menjadi tujuan peta jalan pendidikan.
"Pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang mampu bertindak secara benar agar dapat belajar (ethical self-appropriation)," katanya.
Sebab, dia mengatakan, pendidikan yang seperti ini akan melahirkan manusia yang mampu bertanggung jawab sebagaimana hakikat martabat manusia. Dia mengatakan, tanggung jawab itu ditujukan tidak saja pada egoisme pribadi untuk mencapai kesuksesan materi dan mengejar hedonisme, tetapi sekaligus tanggung jawab kepada sesama, lingkungan, dan alam semesta dan Tuhan.
Dia pun mendasarkan peta jalan dengan filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yakni kontinuitas (dasar dan menjaga warisan kebudayaan), konvergenisitas (kemampuan berdialog dengan budaya dari luar dan baru), dan konsentrisitas (pendidikan yang melahirkan kreativitas dan inovasi). Teori trikon tersebut ini didasari oleh lima asas dasar pendidikan atau Panca Dharma, yakni asas kodrat alam, kemerdekaan, budaya, kebangsaan, dan kemanusiaan.
"Peta jalan pendidikan yang hanya melihat tantangan yang bersifat matrialistik, padahal pendidikan harus didasarkan kepada nilai agama," katanya.
Baca Juga: DPR Ikut-Ikutan Sentil Nadiem Makarim: Masukkan Frasa Agama Hukumnya Mutlak!
Dia mengatakan, tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Sisdiknas juga menekankan output manusia Indonesia yang betaqwa dan berakhlak mulia dengan tetap mampu menjawab tantangan global. Menurutnya, visi pendidikan yang bertumpu pada teori trikon akan melahirkan model pendidikan yang mengembangkan kemampun untuk berpikir rasional.
Sebab, pendidikan seharusnya juga melahirkan manusia yang mampu memahami pengalaman sebagai sebuah konteks menyeluruh dalam memahami kehidupan.
"Pendidikan seharusnya mendorong siswa memahami pengalaman agar bisa belajar tentang kehidupan. Selain itu, dasar pendidikan juga harus menyiapkan siswa mampu melakukan pengamatan, melihat dari dekat dalam mengembangkan perhatian terhadap realitas kehidupan," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum