Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Korupsi Bansos Covid-19 Ngalir Deras ke Artis, Anggota BPK, dan Pengacara

        Korupsi Bansos Covid-19 Ngalir Deras ke Artis, Anggota BPK, dan Pengacara Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Skandal kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang menyeret eks Mensos, Juliari Batubara makin terbuka. Dana yang dikumpulkan dari hasil ngembat duit bansos itu, ternyata ngalir ke mana-mana.

        Ada yang masuk kantong artis, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pengacara dan lain-lain. Dua politisi banteng yang selama ini diduga ikut terlibat dalam kasus ini, juga semakin di ujung tanduk.

        Baca Juga: Cita Citatata Dibayar Ratusan Juta dari Uang Korupsi Bansos

        Berbagai aliran duit yang diembat dari bansos Covid itu terungkap dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta untuk terdakwa Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja, kemarin. Harry dan Ardian didakwa telah menyuap Juliari dengan total Rp 3,2 miliar guna memuluskan penunjukan perusahaan penyedia bansos di Kemensos.

        Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum dari KPK menghadirkan dua tersangka lain, yakni Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso sebagai saksi. Keduanya merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos.

        Kepada Matheus, Jaksa Muhammad Nur Aziz menggali soal aliran duit sebesar Rp 16,7 miliar yang dikumpulkan dari korupsi bansos. Dari jumlah tersebut, Matheus mengaku menyerahkan Rp 14,7 miliar ke Juliari.

        “Tidak semua diserahkan,” ungkap Matheus. Ke mana sisanya? Menurut Matheus, uang haram itu digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti membayar jasa pengacara hingga kunjungan kerja ke Semarang. Termasuk mengalir ke sejumlah pihak lainnya di lingkungan Kemensos.

        Mereka adalah Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (Dirjen Linjamsos), Pepen Nazaruddin sebesar Rp 1 miliar, Kepala Biro Perencanaan Adhy Karyono Rp 550 juta, Kepala Biro Kepegawaian dan Organisasi Amin Rahardjo Rp 100 juta. Kemudian, Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Sunarti Rp 100 juta, Staf Kemensos Robbin Rp 300 juta, Tim Bansos Yogi dan Iskandar masing-masing Rp 300 juta dan Rp 250 juta. Lalu Staf Kemensos atas nama Rizki Rp 350 juta. Juga Tim Bansos Firman dan Reinhan, masing-masing Rp 250 juta dan Rp 70 juta.

        Bukan hanya pejabat di lingkungan Kemensos, duit bancakan hasil korupsi itu juga mengalir ke sejumlah pihak luar, termasuk pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Pembelian 10 buah HP Rp 140 juta kepada pimpinan Kemensos, Brompton 3 sepeda untuk Sekjen Hartono Laras senilai Rp 120 juta dan untuk operasional BPK Rp 1 miliar,” ungkap Matheus.

        Untuk menegaskan, Jaksa Aziz kemudian menyebut nama anggota BPK yang dimaksud Matheus sesuai yang tertulis di BAP. “Di BAP menyebut nama Achsanul Qosasi ?” tanya jaksa.

        “Saya kurang tahu, hanya diminta Pak Adi (Adi Wahyono) untuk menemui pak Yonda, ketemu di koridor Mal Green Pramuka,” terang Matheus.

        Tak hanya itu, menurut Matheus, uang juga digunakan untuk pelbagai kegiatan kementerian seperti di antaranya untuk honor artis acara di Labuan Bajo. “Artisnya, informasinya Cita Citata, saya juga enggak hadir,” kata Matheus.

        Uang bansos lainnya, lanjut dia, juga digunakan untuk pembayaran hotel Biro Humas Rp 80 juta; tes swab pimpinan kementerian Rp 30 juta; seragam baju tenaga pelopor Rp 80 juta. Lalu, untuk pembayaran kegiatan di Mesuji, Lampung Rp 100 juta, pengerahan tenaga pelapor untuk monitoring gudang Rp 80 juta, pembayaran makan-minum rapat pimpinan awal-akhir Rp 100 juta, pembayaran makan minum tim bansos relawan dan tim pantau Rp 200 juta, pembayar sapi Rp 100 juta.

        “Juga untuk sewa pesawat carter Labuan Bajo Rp 270 juta, pembayaran artis untuk kegiatan rapat Labuan Bajo Rp 150 juta,” lanjut Matheus.

        Jaksa juga menanyakan alasan pembayaran kegiatan-kegiatan itu diambil dari ‘fee’. Atas pertanyaan tersebut, Matheus menjawab hanya menjalankan perintah. Selain itu, ia pun mengonfirmasi pertanyaan jaksa bahwa dana sebesar Rp 14,7 miliar telah terdistribusi semua.

        Sementara dari saksi Adi Wahyono, Jaksa Aziz mencecar sejumlah perusahaan yang mendapat jatah pengadaan bansos sembako. Sejumlah nama yang mengusulkan vendor untuk pengadaan bansos kemudian diungkap Jaksa. Data tersebut berasal dari BAP.

        “Ini ada nama Kukuh, Marwan Dasopang, Hartono Laras, Dadang Iskandar, Ihsan Yunus, Juliari Peter Batubara, Candra Manggih dan Royani. Ini tentu saudara tidak salah sebut, tentu ada data?” tanya jaksa.

        Adi mengetahui nama mereka masuk dalam daftar pada akhir-akhir kegiatan pengadaan bansos Covid-19. Namun, dia mengatakan tidak tahu persis detail waktu keterlibatan pihak-pihak tersebut. “Informasi-informasi itu adalah akumulasi dari kami, sering melakukan pertemuan. Jadi saya mendengar,” ungkapnya.

        Jaksa melanjutkan keterangannya bahwa satu juta paket diberikan kepada grup Ketua Komisi III DPR Fraksi PDIP Herman Hery, Evo Wongkaren, Stefano dan kawan-kawan.

        Kedua, kuota sebanyak 400 ribu paket diberikan kepada grup anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus, Irman Ikran, Yogas dan kawan-kawan. Selanjutnya, 300 ribu kuota diberikan kepada Matheus Joko Santoso untuk kepentingan bina lingkungan. Terakhir, 200 ribu kuota diberikan kepada teman, kerabat, kolega dari Juliari. “Ini ada di BAP saudara?” tanya jaksa. Adi menjawab: “Ya.”

        Untuk diketahui, selama ini Herman Hery dan Ihsan Yunus kerap disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi bansos ini. Herman diduga meminjam bendera sejumlah perusahaan untuk memperoleh kuota pengadaan bantuan kebutuhan pokok. Sementara Ihsan Yunus ikut mendapat jatah bansos. Nama Ihsan juga muncul dalam rekonstruksi korupsi bansos yang digelar KPK, awal Februari lalu.

        Ihsan sudah diperiksa sebagai saksi, 27 Februari lalu. Rumah pribadinya di Jakarta Timur juga pernah digeledah tim penyidik KPK. Namun hingga kini, status kader Banteng itu masih sebagai saksi.

        Di luar persidangan, Ketua BPK, Agung Firman Sampurna membantah semua kesaksian Matheus. Dia menegaskan, selama ini dirinya selalu melarang keras jajarannya menerima sesuatu dalam bentuk apapun. “Karena dapat mengganggu independensi pemeriksaan yang kami lakukan,” tegasnya, saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

        Dia pun tak mengenal Yonda yang menurut kesaksian Joko merupakan utusan dari instansinya. “Pihak yang disebut tidak dikenal di BPK, bukan bagian dari tim pemeriksa, bukan pelaksana atau pegawai BPK, apalagi pejabat struktural BPK,” tekannya.

        Dia meminta saksi memberikan informasi yang utuh. Jangan menyebut asal-asalan yang akhirnya berdampak buruk bagi BPK. “Jadi harus jelas siapa ‘BPK’ yang dimaksud di sini. Kecuali hanya pihak-pihak yang mengatasnamakan BPK,” sambarnya.

        Sementara itu, anggota BPK Achsanul Qosasi ogah merespon semua keterangan Matheus yang ada di BAP. Justru, saat ini dia mengaku sedang memeriksa keuangan bansos. “Jangan direspon. Saya belum selesai periksa bansos. Biar tidak mengganggu pemeriksaan,” jawabnya, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

        Sedangkan Ririe, selaku manager Cita Citata merasa bosnya tidak tahu-menahu soal korupsi bansos. Yang dia tahu, Cita Citata hanya mendapat honor manggung dari pihak kedua, yaitu event organizer (EO). “Apa urusan bansos dengan Cita. Kita terima job ini dari EO, sama skali nggak ngerti apa-apa urusannya sama dana bansos,” cetusnya, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

        Pakar hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tholabi Karlie mengatakan, tidak menutup kemungkinan aliran dana yang berasal dari tipikor dan kejahatan pidana lainnya bagian dari kategori Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8/2010 TPPU, ada ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 1 miliar,” paparnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

        Kendati demikian, ada mekanisme hukum yang mesti dipenuhi. Yakni, pihak yang menerima uang hasil korupsi mengetahui uang yang diterima merupakan hasil tindak pidana, di antaranya korupsi. “Karenanya, penyidik harus melakukan penyidikan secara cermat,” imbuh dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta itu. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: