Yang membedakan demokrasi dengan sistem yang lain adalah adanya checks and balances antara legislatif dan eksekutif, DPR, dan pemerintah. DPR seperti rem mobil yang bisa ikut menjaga agar pemerintah berjalan terarah, tidak nabrak sana sini, agar program sesui dengan yang telah disepakati.
Checks and balances itu mensyaratkan ada kekuatan DPR yang otonom atau independen dari pemerintah. Independensi itu terkait dengan apakah partai yang punya wakil di DPR itu anggota koalisi pemerintah atau tidak.
Baca Juga: Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS : Moderasi Islam Faktor Penting Kebangsaan
Bisa saja anggota koalisi itu berperan untuk checks and balances, untuk kontrol pemerintah, tapi dalam praktiknya tidak mudah, tidak cukup independen. Maka, checks and balances itu lebih bisa diperankan oleh partai yang berada di luar koalisi.
Kekuatan partai di DPR yang di luar koalisi tidak mesti harus mayoritas, tapi harus cukup besar. Sebab, kalau mayoritas dan kuat sekali, bisa membuat pemerintahan tidak jalan, deadlock. Cukuplah misalnya 40-45 persen anggota DPR dari partai bukan pendukung pemerintah.
Memang tidak ada aturannya berapa banyak partai yang dibolehkan untuk menjadi anggota koalisi pemerintah. Sekarang ini, pemerintah boleh saja merangkul semua partai. Ini bisa membuat checks and balances lemah atau bahkan mati. Ini harus dipikirkan agar ada aturan tentang itu.
Pada masa presiden Abdurrahman Wahid, tidak ada partai yang jelas oposisi, tapi Golkar yang berkekuatan di DPR sekitar 25 persen cukup berperan untuk jadi motor checks and balances itu. Pada masa presiden Megawati, juga tidak cukup jelas partai oposisinya kecuali PKB.
Pada masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kekuatan check and balances diperankan oleh PDIP, Gerindra, dan Hanura. Kekuatan mereka sekitar 30 persen di DPR. Lumayan. Kasus yang menonjol adalah interpelasi Bank Century. Juga berseberangan soal UU Pilkada antara DPR dan presiden.
Pada term pertama presiden Jokowi, checks and balances dapat diperankan oleh Gerindra, Demokrat, dan PKS. Kekutan mereka juga sekitar 30 persen. Lumayan. Pada term kedua presiden Jokowi, Gerindra dan Prabowo yang jadi lawan utama di Pilpres 2014 dan 2019 takluk pada pemerintah dengan imbalan 2 jabatan menteri. Ini kejadian politik langka di kolong langit. Yang di luar pemerintah tinggal PKS dan Demokrat.
Sikap oposisi PKS dan Demokrat terlihat dari sikap mereka terkait UU Cipta Kerja yang merupakan inisiatif pemerintah dan revisi UU Pemilu. Dua partai itu menginginkan revisi seperti partai lain sebelumnya seperti Golkar dan Nasdem. Namun, kemudian tinggal dua partai itu yang ingin revisi.
Kekuatan PKS dan Demokrat di DPR hanya sekitar 15 persen. Ini merupakan jumlah yang paling kecil sejak presiden SBY.
Sekarang, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko ditetapkan menjadi ketua Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Sumatera Utara. Bila hasil KLB ini diterima pemerintah dan menang di pengadilan jika AHY menggugat, bisa dipastikan Demokrat juga akan bergabung dengan pemerintah. Maka, tinggal ada PKS sebagai oposisi. Kekuatannya sekitar 8% saja.
Bila tinggal 8 persen oposisi, checks and balances bisa dikatakan hilang dalam demokrasi kita. Dan, demokrasi yang demikian sebenarnya bukan demokrasi, setidaknya demokrasi yang lemah. PKS akan menjadi oposisi tunggal dengan kekuatan yang tak berarti. Ini punya konsekuensi lain: jumlah yang tak puas dengan kinerja pemerintah memang bukan mayoritas, tapi cukuo besar, sekitar 30 persen. Ini lahan cukup luas untuk membesarkan PKS.
Karakteristik PKS selama ini adalah berpolitik dengan narasi Islam. Dengan posisi PKS sebagai oposisi tunggal, seolah-olah PKS-lah yang menjadi wakil umat Islam berhadapan dengan pemerintah. Narasi ini bertemu dengan fakta bahwa umat Islam memang terbelah secara politik.
Di dua Pilpres terakhir, umat Islam terbelah dua. Yang membuat Jokowi menang di dua pilpres itu adalah pemilih nonmuslim. Dengan PKS sebagai oposisi tunggal, polarisasi politik karena identitas kemungkinan akan makin dalam. Demokrasi dan stabilitas politik kita dalam ujian berat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum