Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mendag Habis Dibombardir, Oposisi dan PDIP Tolak Impor Beras 1 Juta Ton

        Mendag Habis Dibombardir, Oposisi dan PDIP Tolak Impor Beras 1 Juta Ton Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
        Warta Ekonomi -

        Rencana pemerintah mengimpor beras 1 juta ton terus mendapat penolakan dari berbagai pihak. Tak hanya dari kalangan oposisi, PDIP sebagai partai pengusung utama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, juga menolak. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan, kebijakan impor sarat dengan kepentingan pemburu rente.

        Hasto menyayangkan sikap Menteri Perdaganan, M Lutfi yang masih ngotot melakukan impor beras meski banyak yang menolak. Sikap Lutfi ini, kata dia, mengabaikan masukan dari menteri terkait dan para kepala daerah yang menjadi sentra produksi pangan.

        Hasto mengingatkan, basis kekuatan utama pemerintah adalah rakyat. Rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan pemerintahan. Karena itu, menteri sebagai pembantu presiden, di dalam mengambil keputusan politik harus senapas dengan kebijakan politik pangan kepala negara.

        “Termasuk berupaya mewujudkan kedaulatan pangan nasional serta berpihak pada kepentingan petani,” katanya.

        Baca Juga: Komisi IV DPR RI Tolak Keras Impor Beras 1 Juta Ton

        Hasto menyarankan, Lutfi belajar dari kepemimpinan Presiden Jokowi yang selalu membangun dialog, menyerap aspirasi, mengemukakan data-data yang obyektif, baru mengambil keputusan. Karena itu, menteri sebagai pembantu presiden jangan hidup di menara gading.

        Atas dasar hal tersebut, PDIP meminta Lutfi melakukan koordinasi dengan pihak terkait, baik Kementerian Pertanian (Kementan), Bulog, asosiasi petani, para pakar di bidang pertanian dan para kepala daerah.

        Menurut dia, politik pangan nasional adalah politik pangan berdikari. Jangan korbankan petani oleh kepentingan impor sesaat yang di dalamnya sarat dengan kepentingan pemburu rente.

        Lalu, Hasto menceritakan, sejak Maret 2020, PDIP telah memelopori gerakan menanam tanaman yang bisa dimakan. “Seluruh kepala daerah partai bergerak. Langkah ini yang seharusnya dipilih para pembantu presiden,” ucapnya.

        Kritikan impor beras juga datang dari ekonom senior, Faisal Basri. Dia menilai, kebijakan impor beras hanya menguntungkan pemburu rente dan merugikan petani. Soalnya, awal tahun ini, petani akan menghadapi panen raya.

        Dalam tulisan bertajuk “Mau Impor Beras Besar-besaran Lagi: Pemburuan Rente Lagi, Rente Lagi” yang diunggah di blog pribadinya, Faisal memaparkan berbagai data yang detail kenapa tak perlu impor.

        Menurut dia, kebijakan tersebut berpotensi mengulang kesalahan yang sama pada 2018. Akibat impor saat itu, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018. Bulog akhirnya kewalahan mengelola stok sebanyak itu.

        Kualitas beras merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi. Ongkos pemeliharaan meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas.

        Karena itu, ia minta Jokowi menyentil menteri-menteri yang gandrung impor. “Mereka mau gampangnya saja, lebih mengedepankan percaloan yang menguntungkan segelintir orang ketimbang kebijakan kreatif dan inovatif yang menaburkan maslahat bagi banyak orang,” katanya.

        Baca Juga: Impor Beras dan Tudingan Adanya Perburuan Rente?

        Sekjen PAN, Eddy Soeparno ikut mengkritik rencana impor beras. Eddy sependapat dengan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang mengusulkan menunda impor beras. Menurutnya, kebijakan itu berpotensi membuat harga beras lokal turun, sehingga mengancam kesejahteraan petani.

        “Akan sangat bijak jika Kementerian Perdagangan menerima masukan dan mendengarkan aspirasi kepala daerah sebelum mengambil kebijakan impor beras ini,” ujar Eddy yang juga Anggota DPR ini.

        Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai, kebijakan impor ini telah menyakiti para petani, karena momennya tidak tepat. Gara-gara wacana impor harga gabah dikabarkan anjlok.

        “Bisa lihat akhir-akhir ini petani di berbagai daerah banyak yang menjerit. Pemerintah ketika baru merencanakan impor saja itu dampaknya secara psikologis itu sudah menekan harga, baik harga gabah maupun harga beras,” kata Khudori.

        Meski mendapat penolakan, Lutfi tak mau membatalkan kebijakan tersebut. Dalam keterangan persnya, Jumat lalu, Lutfi menegaskan, kebijakan impor dilakukan untuk menjaga stok. Kata dia, sesuai aturan, Bulog harus memiliki pasokan 1-1,5 juta ton per tahun.

        Sementara data terakhir menyebut, sisa stok beras di gudang Bulog tercatat 800 ribu ton. Sebanyak 300 ribu ton di antaranya sudah mengalami penurunan kualitas mutu. Artinya stok Bulog mungkin tidak mencapai 500 ribu.

        Masalah lainnya, penyerapan hasil panen petani oleh Bulog masih rendah. Padahal, mestinya Bulog sudah menyerap hasil panen petani mendekati 450-500 ribu ton. Menurut dia, Bulog kesulitan menyerap hasil panen lantaran tingkat kekeringan gabah petani masih di bawah standar.

        Terkait penolakan keras dari Komisi IV DPR, Lutfi menanggapinya dengan santai. Dia mengucapkan terima kasih atas masukan itu. Namun, sudah menjadi tugasnya untuk memikirkan yang tidak terpikirkan.

        Menurut dia, kalau tidak diperbolehkan impor, maka akan memberikan efek buruk terhadap pasar. Elemen internasional bisa memandang Indonesia tidak punya beras. Hal itu akan menyebabkan harga beras di dunia akan naik.

        Karena itu, dia meneken nota kesepahaman (MoU) dengan negara-negara lain untuk memastikan kita punya persediaan yang banyak.

        “Dengan itu saya bisa menekan para spekulan jangan macem-macem, saya bisa guyurin pasar di Indonesia dengan stok yang tidak ada di dalam negeri. Ini adalah mekanisme pemerintah yang harus saya pertahankan,” tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: