Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Duh Gusti... Hingga Saat Ini Profesi Jurnalis Masih Belum Terapkan Budaya K3, Padahal..

        Duh Gusti... Hingga Saat Ini Profesi Jurnalis Masih Belum Terapkan Budaya K3, Padahal.. Kredit Foto: Mochamad Ali Topan
        Warta Ekonomi, Surabaya -

        Profesi seorang jurnalis sangat rentan dengan resiko pekerjaannya mulai dari keselamatan dan kesehatan Kerja. Sebab, seorang jurnalis dalam melakukan pekerjaannnya tidak mengenal waktu sehingga, lalai dengan keselamatan dalam bekerja.

        Hingga saat ini, tidak satupun jurnalis tingkat lokal, nasional hingga internasional masih belum menerapkan atau panduan resiko Keselamatan dan Kesehatan kerja atau disebut K3.

        Anggota Asosiasi Ahli K3 (A2K3), Edi Priyanto secara tegas menyatakan, penerapan K3 hanya dilaksanakan di sektor industri saja. Sementara dikalangan jurnalis sendiri masih belum pernah dilakukan. Jika dilihat kata Edi, K3 wajib menjadi pegangan utama selama menjalankan tugas jurnalistiknya.  Baca Juga: Menteri BUMN Erick Thohir Rombak Direksi Pelindo I hingga IV, Berikut Susunannya

        Baca Juga: Jurnalis Dianiaya Tersangka Angin Prayitno Aji, Saatnya Kapolri Bertindak

        Lebih lanjut menjelaskan, jurnalis saat menjalankan tugas masih mengabaikan K3. Misalkan sebut Edi, mempersiapkan diri mulai dari kesehatan, peralatan hingga penggunaan transportasi. Disisi lain, seorang jurnalis dalam mencari informasi memiliki resiko cukup tinggi mulai dari ancaman, kriminal dan beberapa resiko lainnya.

        “K3 bagi seorang wartawan mau tidak mau harus mau. Begitu pula bagi perusahaan dimana seorang wartawan tempat bekerja diwajibkan harus mau dengan penerapan K3 ini. Hal ini, untuk kebaikan seorang jurnalis dalam menjalankan jurnalistiknya,” terang Edi dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penyusunan Usulan Panduan Identifikasi Budaya dan Perilaku Risiko K3 Wartawan” yang berlangsung di Probolinggo, belum lama ini.

        Edi mencontohkan, beberapa kasus yang pernah dialami seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya dilapangan mulai resiko kecelakaan transportasi ,ancaman, kerusakan alat selama peliputan, korban bencana alam serta lainnya. Hal ini, kata Edi, dikarenakan wartawan kurang kesadarannya pentingnya makna K3.

        “Maka kesadaran akan K3 sangat penting sekali seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya. Sebab K3 ini merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Semakin tinggi risiko pekerjaan, semakin tinggi pula kebutuhan akan jaminan K3 ini,” lanjut Edi.

        Bahkan Edi mengungkapkan, hasil survei Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja K3 (A2K3) tercatat 107 responden kalangan jurnalis /wartawan mengidentifikasi ada beberapa potensi risiko pekerjaannya.

        Ia menyebutkan kesejahteraan misalkan, hanya 13 persen responden yang mendapatkan 4 jenis jaminan ketenagakerjaan (JHT, JKM, JKK, JP) sebanyak. Mayoritas responden atau 39 persen hanya mendapatkan satu jenis jaminan ketenagakerjaan, yakni JHT.

        Lalu 100 persen responden telah mendapatkan BPJS Kesehatan dari perusahaan. Kemudian mayoritas responden atau 57,9 persen mendapatkan penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan. Dan sepeda motor dan HP merupakan properti/fasilitas yang banyak dimiliki oleh tiap responden.

        Sementara dalam kaitannya dengan berkendara menuju lokasi kerja/liputan menggunakan kendaraan roda dua, ada beberapa risiko yang mengancam wartawan. Antara lain tersenggol kendaraan lain, jalan rusak, perilaku ofensif pengguna jalan, fungsi kendaraan rusak, menggunakan HP saat berkendara, dan mengantuk atau melamun. Juga risiko kriminalitas (penjambretan, pembegalan,dll). Dalam hal melakukan liputan banjir, diidentifikasi risiko arus air deras, pijakan licin dan becek, dan bahaya kuman.

        Bila jurnalis melakukan aktivitas peliputan peristiwa longsor, identifikasi bahany adalah tanah miring, tanah tidak stabil, pijakan licin dan becek, pohon tumbang dan bahaya biologi seperti ular atau serangga.

        Jurnalis yang melakukan kegiatan liputan di lokasi kebakaran mendapatkan ancaman bahaya papatan gas beracun CO2, overheating, struktur bangunan rapuh dan reruntuhan bangunan.

        Bagi jurnalis yang melakukan peliputan terorisme, ada risiko yang mengancam. Antara lain terjadi kontak dengan teroris, situasi chaos, atau baku tembak.

        Melakukan peliputan di lokasi ground breaking juga bukan tanpa risiko. Ancaman gedung roboh dan pijakan licin merupakan bahaya yang mengintai.

        Meliput di lokasi demonstrasi bisa diidentifikasi bahayanya dengan mudah. Yakni kontak dengan pelaku kerusuhan, flying object (material yang dilempar), gas air mata, situasi chaos.

        Peliputan di zona penyebaran virus jelas risikonya. Yakni terpapar virus dan bahaya psikologis yakni muncul dilema dan kekhawatiran tertular.

        Lebih lanjut Edi menjelaskan, bahwa payung hukum dari penerapan K3 adalah UU 13/2003 tentang Ketenegakerjaan. Dalam undang-undang itu, ketenagakerjaan- termasuk di dalamnya adalah K3- diatur agar tidak merugikan berbagai pihak, yaitu tenaga kerja dan perusahaan bersangkutan.

        Dasar hukum penerapan K3 lainnya kata Edi, adalah UU 1/1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Dalam UU 1/1970 setidaknya ada tiga poin penting. Pertama, melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja. Kedua, menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nasional.

        Pertanyaannya kata Edi,apakah semua stake holder pers (kita) menerapkan K3 di dunia jurnalistik?

        “Kami optimistis bahwa K3 bisa diterapkan di dunia jurnalistik. Sebab K3 diciptakan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja tanpa mengecualikan industri apapun,” beber Edi juga menjabat sebagai Direktur SDM PT Pelindo III (persero) ini

        Sementara itu, Kabid Pengawasan Disnakertrans Provinsi Jatim Sigit Priyanto mengatakan, panduan atau penerapan K3 bagi wartawan sangatlah penting. Sebab profesi wartawan pekerjaan memiliki penuh risiko cukup tinggi.

        Menurut Sigit, seorang wartawan mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar.

        “Mereka menulis, menganalisis, dan melaporkan suatu peristiwa kepada khalayak melalui media massa secara teratur. Jurnalis memperoleh dan menjaga informasi akurat untuk disampaikan ke publik,” kata Sigit.

        Terkait hal itu , General Manager External Affairs PT Merdeka Copper Gold, Katamsi Ginano memberikan beberapa perbandingan dalam penerapan penerapan K3 disektor industri.

        Menurutnya Katamsi, ada dua cara dalam penerapan K3 yakni, pemaksaan melalui aturan dan membentuk kesadaran (budaya). Keselamatan seharusnya adalah hal pertama yang harus dibahas sebelum urusan kerja.

        Masih kata Katamsi, untuk implementasi K3, diperlukan sebuah dedikasi penuh. Tidak cukup hanya pemaksaan melalui aturan atau pembiasaan membentuk budaya.

        Ketika ada orang bertanya, risiko terbesar wartawan ketika meliput apa? Kalau di pertambangan pertanyaan risiko itu bisa didefinisikan dan diidentifikasi jelas. Tetapi kalau wartawan risikonya out of mind (tidak terduga-duga).

        “Misalnya wartawan hadiri nikahan saja bisa kena gebuk,” ungkap Katamsi merujuk peristiwa pemukulan wartawan Tempo oleh oknum aparat di Surabaya, akhir Maret 2021 lalu.

        Bahkan kata Katamsi, juga memberikan gambaran bahwa aturan dan budaya keselamatan adalah nomor satu dalam menghindari risiko kecelakaan kerja. Tetapi berpikir keselamatan, derajatnya lebih tinggi dibanding aturan dan budaya K3.

        Ia mengambil pelajaran dari peristiwa tewasnya 19 pemadam kebakaran hutan di Amerika yang lebih disebabkan karena para pemadam tidak bisa lari kencang karena harus menjaga peralatan mereka.

        “Menjaga peralatan adalah aturan K3. Mereka bukan minus pemahaman K3. Sehingga saking taatnya dengan prosedur, mereka tidak membuang peralatannya ketika api datang. Mereka meninggal sambil memeluk peralatannya. Aturan dan budaya keselamatan adalah nomor satu dalam menghindari risiko kecelakaan kerja. Tetapi berpikir keselamatan, derajatnya lebih tinggi dibanding aturan dan budaya K3,” ingat Katamsi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: