Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Gegara Masukkan China dalam Daftar Lawan Nomor Wahid, Bos Pentagon Susun Strategi Ini

        Gegara Masukkan China dalam Daftar Lawan Nomor Wahid, Bos Pentagon Susun Strategi Ini Kredit Foto: AP Photo/J. Scott Applewhite
        Warta Ekonomi, Washington -

        Amerika Serikat (AS) telah memfokuskan China sebagai lawan utamanya. Sementara, China menuding AS belum move on dari mental Perang Dingin. Demi menghadapi China, Departemen Pertahanan AS (Pentagon) telah menyusun strategi.

        Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin meminta dilakukannya percepatan pengembangan mi­liter. Pentagon juga akan mengi­dentifikasi apa kekurangan dan kelebihan angkatan bersen­jata China, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).

        Baca Juga: Pengaruh Amerika Turun, China Ambil Kesempatan Dekati ASEAN Perkuat Kerja Sama Vaksin

        Gugus Tugas itu dipimpin Ely Ratner. Mantan Ajudan Utama Presiden AS Joe Biden ini ditunjuk sebagai pejabat tinggi Pentagon untuk urusan Asia-Pasifik.

        Pentagon hanya merilis be­berapa rincian tentang temuan Gugus Tugas itu yang telah berjalan empat bulan.

        Sedangkan tantangan men­desak dari China, antara lain perluasan angkatan lautnya, upaya untuk melakukan kontrol yang lebih besar atas Laut China Selatan, dan meningkatkan an­caman terhadap Taiwan, yang merupakan mitra AS.

        “Tujuan kami untuk memper­cepat pengembangan strategi dan teknologi perang baru. Memperbarui rencana untuk pasukan AS di Pasifik. Dan membuat tenaga kerja Pentagon lebih siap menghadapi tantangan China. Termasuk memperbarui pendidikan dan latihan,” demikianpernyataan Austin, dilan­sir Wall Street Journal.

        Merespons kebijakan terse­but, Kedutaan Besar China di Washington DC mengatakan, Beijing berkomitmen membagun perdamaian.

        “Tinggalkan Perang Dingin yang usang dan mentalitas zero-sum, dan melihat perkembangan China dan hubungan China dengan AS secara rasional,” demikian pernyataan Kedutaan Besar China.

        Jika itu dilakukan, tentu dapat menghindari rusaknya hubungan bilateral dan kerja sama secara keseluruhan di bidang-bidang penting.

        Sebelumnya, US Congressional Research Service (CRS) mengeluarkan laporan, bahwa PLA kurang pengalaman dalam bertempur.

        “Pejabat PLA sering merujuk pada endemik ‘penyakit perda­maian’ di pasukan, dan khawatir bahwa pasukan yang belum per­nah melihat pertempuran akan berpuas diri dan berjuang untuk mempertahankan kesiapan,” bu­nyi laporan yang diterbitkan oleh CRS, sebuah organisasi Kongres AS sejak 1914, seperti dikutip dari Sputnik, Selasa (8/6/2021).

        Laporan tersebut mencatat bahwa PLA terakhir melakukan perang skala penuh pada tahun 1979, ketika PLA melancarkan serangan terhadap tetangga se­latan China, Vietnam.

        Sejak 1949, PLA telah terlibat dalam perang skala penuh hanya tiga kali, yaitu Perang Korea (1950-1953), perang China-India 1962, dan perang China-Vietnam 1979.

        “Bentrokan mematikan antara pasukan China dan India di Lembah Galwan di wilayah perbatasan Ladakh yang diseng­ketakan Juni lalu, dikategorikan sebagai tindakan non-perang dalam bahasa PLA,” begitu laporan Kongres AS.

        Laporan AS lebih lanjut menganggap, kemampuan operasi gabungan, koordinasi efektif antara sayap yang berbeda dari PLA jika terjadi aksi bersenjata, juga tetap menjadi tantangan utama bagi pasukan China.

        Bahkan ketika militer melaku­kan lebih banyak latihan dari­pada sebelumnya, relatif sedikit yang bersama: antara 2012 dan 2019, 80 latihan gabungan terjadi pada atau di atas tingkat brigade/divisi, menurut buku putih pertahanan China 2019.

        Lebih lanjut, laporan Kongres AS meragukan kemampuan China di daerah perang tertentu. Termasuk antara lain, perang anti-kapal selam, pertahanan udara berbasis laut, intelijen jarak jauh dan operasi udara di atas air.

        Laporan AS juga menunjuk­kan tingkat kerentanan dalam pasukan China karena menga­lami “proses re-organisasi” yang ditetapkan Presiden Xi Jinping.

        Pada tahun 2017, Xi mengumumkan, Beijing berusaha untuk “memodernisasi” angkatan ber­senjatanya pada tahun 2035, dan mengubahnya menjadi kekuatan kelas dunia pada pertengahan abad ke-21.

        “Saat PLA mereorganisasi dirinya, pasukan sedang mengalami periode gangguan yang signifikan, membuat beberapa pengamat mempertanyakan apakah PLA mungkin sangat tidak siap menghadapi konflik saat proses reorganisasi sedang berlangsung,” demikian peryataan laporan kongres.

        Dana Militer

        Senat AS, pada Selasa (8/6) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) kebijakan indus­tri besar-besaran untuk melawan ancaman ekonomi yang melon­jak dari saingannya, China.

        Termasuk mengatasi perpecahan partisan untuk mendukung penda­naan lebih dari 170 miliar dolar AS (sekitar Rp 2.423 triliun) bagi penelitian dan pengembangan.

        Langkah itu disetujui dengan suara 68 banding 32. Kini masalah itu akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.

        “Undang-undang ini akan memungkinkan AS berinovasi, memproduksi lebih banyak, dan menang bersaing dalam industri masa depan dunia,” kata Chuck Schumer, Ketua Mayoritas Fraksi Demokrat di Senat.

        Menanggapi Undang-Undang itu, Senator Republik Roger Wicker dari Mississippi mengatakan, “Ini peluang bagi Amerika untuk menjawab persaingan tidak sehat dari China”.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: