Potensi minyak goreng bekas (minyak jelantah) di Indonesia mencapai 3 juta kiloliter pada 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2,43 juta kiloliter dijadikan minyak goreng daur ulang dan dijual kembali ke pasar. Sementara, sebanyak 570.000 kiloliter sisanya digunakan sebagai bahan baku biodiesel dan kebutuhan lainnya.
Tidak hanya itu, Indonesia juga telah mengekspor minyak jelantah sebanyak 184.090 kiloliter atau senilai US$90,23 juta pada 2019 dengan Belanda sebagai negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$23,6 juta.
Baca Juga: Peluang Indonesia Optimalkan Ekspor Minyak Jelantah, Ini Kata Pengamat...
Meskipun belum ada regulasi khusus yang mengatur tata niaga minyak jelantah di Indonesia, Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan (Kemendag), Susy Herawaty, mengatakan bahw pemerintah memilih untuk memperkuat aturan yang sudah ada terkait minyak goreng. Pasalnya, minyak jelantah merupakan turunan dari minyak goreng.
Salah satu regulasi yang cukup ditekankan oleh pemerintah adalah Permendag No. 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan. Beleid ini mewajibkan produsen, pengemas, dan/atau pelaku usaha yang memperdagangkan minyak goreng sawit dengan menggunakan kemasan kepada konsumen.
Saat Permendag ini mulai berlaku, minyak goreng dalam bentuk curah masih bisa diperdagangkan hingga 31 Desember 2021. Artinya, minyak goreng curah dilarang beredar di pasar mulai awal tahun 2022 nanti.
"Minyak goreng curah memang cukup rawan karena bisa saja berasal dari minyak jelantah. Harganya juga lebih fluktuatif dibandingkan minyak goreng kemasan. Kehalalannya juga masih dipertanyakan," katanya, seperti dikutip dari elaeis.co.
Selain itu, pemerintah juga memiliki sejumlah regulasi lain terkait pengadaan dan perdagangan minyak goreng, di antaranya UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bab III Paragraf 8 di Sektor Perdagangan, kemudian UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapula Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana diubah dengan Perpres Nomor 59 Tahun 2020, serta Permenperin Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Minyak Goreng Sawit Secara Wajib.
"Regulasi yang sudah diterbitkan kami rasa sudah cukup kuat untuk mengurangi peredaran minyak jelantah untuk makanan. Tinggal penguatan pengawasan di lapangan dan ini tidak hanya jadi tugas Kemendag, tetapi juga aparat penegak hukum," kata Susy.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menilai jika minyak jelantah harus diatur lewat regulasi tersendiri. "Karena belum ada regulasi yang jelas, minyak jelantah ini diibaratkan pisau bermata dua berhubung pasarnya sedang booming dan harganya baik pula," kata Sahat.
Dikatakan Sahat, ruang lingkup minyak jelantah tidak jelas. Hal ini karena di negara-negara maju, minyak jelantah dikategorikan sebagai limbah atau sisa proses penggorengan. Sementara di Indonesia, minyak jelantah belum jelas apakah masuk dalam kategori limbah atau tidak. Minyak jelantah pun tidak tertera dalam PP Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Sahat menilai, pasar Eropa untuk minyak jelantah cukup besar karena dibutuhkan sebagai bahan baku biodiesel. Eropa pun siap membeli minyak jelantah Indonesia dengan harga yang lebih mahal dibandingkan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Terlepas dari hal tersebut, Sahat mengatakan bahwa ekspor minyak jelantah harus dilakukan oleh perusahaan yang jelas dan terdaftar agar tidak terjadi penyalahgunaan.
"Perusahaan ini harus berizin khusus untuk melakukan pengumpulan dan pengolahan minyak jelantah," pungkas Sahat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: