Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) mendesak Uni Eropa (UE) untuk segera merevisi pendekatannya terhadap minyak nabati yang digunakan sebagai bahan bakar nabati di bawah kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II).
Hal ini menyusul sedang dilakukannya proses revisi dan tenggat waktu yang kian dekat, yakni pada 14 Juli 2021 mendatang, serta tenggat waktu Komisi Uni Eropa untuk menetapkan aturan tentang sertifikasi biofuel lewat perhitungan Indirect Land Use Change (ILUC) dan memperbarui daftar bahan baku berisiko tinggi sesuai ILUC.
Baca Juga: Komitmen Praktik Sawit Berkelanjutan Membuahkan Hasil
Minyak sawit telah dituding sebagai perusak lingkungan berdasarkan studi yang dilakukan selama periode 2008-2016, yang akhirnya menjadi ukuran dalam ILUC. Periode waktu penelitian tersebut mendiskriminasikan negara-negara yang terlambat dalam membangun, jelas pengembangannya selama periode tersebut memengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan.
CPOPC berpendapat bahwa periode waktu yang tepat untuk menilai pembangunan berkelanjutan negara-negara penghasil minyak sawit, termasuk Indonesia dan Malaysia, seharusnya dimulai sejak pasca-kolonial. Sebuah studi mencatat, perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (ILUC) selama periode 1960-2019 mengidentifikasi 43 juta km2 secara global dari wilayah utara hingga selatan. Sementara, perkiraan luas areal budi daya kelapa sawit secara global hanya mencapai 250 ribu km2.
Bukti lebih lanjut, catat CPOPC, dari penelitian yang dilakukan UE terhadap minyak sawit, menganalisa adanya Peningkatan Bersih Tahunan dari Area Panen selama periode 2008-2016: minyak sawit sebagai komoditas dengan risiko ILUC mencapai 4 persen. "Hal ini menempatkan minyak sawit pada risiko ILUC tertinggi jika dilihat dari persentasenya saja," catat Sekretariat CPOPC.
Sementara, mesti dicatat bahwa analisis yang sama menunjukkan jejak perubahan lahan jauh lebih besar tercatat dari minyak nabati lainnya. Minyak kelapa sawit dimulai pada titik dasar 15,369 kha sementara rapeseed dan kedelai masing-masing dimulai pada 30,093 kha dan 96,380 kha. Analisis Uni Eropa memberikan rapeseed peningkatan bersih tahunan hanya sekitar 1 persen.
"Ini jelas merupakan distorsi fakta. Seandainya negara-negara penghasil minyak sawit berkembang pada kecepatan yang sama dengan negara-negara penghasil rapeseed, minyak sawit akan menunjukkan peningkatan 2 persen, bukannya 4 persen. Distorsi fakta yang paling nyata adalah pada kedelai yang hanya mencapai 3 persen. Sementara, bila dilihat pada awalan pengembangan dan peningkatan tahunan luas panen, tercatat empat kali lebih besar daripada kelapa sawit," catat Sekretariat CPOPC.
Dilihat dari perspektif ini, CPOPC berpendapat bahwa hasil energi per hektare lahan yang digunakan untuk biofuel harus dimasukkan untuk analisis yang adil. Penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa minyak sawit memiliki efisiensi energi empat kali lipat dari rapeseed atau kedelai. Setelah pengetahuan ini diterapkan pada analisis UE tentang penggunaan lahan minyak nabati, itu akan menempatkan minyak sawit sebagai tanaman paling efisien untuk energi terbarukan.
Selain penggunaan lahan, studi terbaru tentang dampak lingkungan dari pengolahan tanah dan penggunaan bahan kimia pertanian yang berat untuk kedelai dan rapeseed menuntut agar UE memasukkan dampak lingkungan yang dimiliki minyak nabati ini karena kontribusinya terhadap perubahan iklim lebih dapat diukur daripada anggapan ILUC.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum