Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pertamax Rugi, Eh Pertalite Ikut-ikutan Merugi, Keuangan Pertamina dalam Ancaman...

        Pertamax Rugi, Eh Pertalite Ikut-ikutan Merugi, Keuangan Pertamina dalam Ancaman... Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menyoroti kenaikan yang signifikan harga minyak dunia. Tercatat, awal Juli 2021, minyak berjangka jenis Brent di level US$77.16 per barel atau yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. 

        Menurutnya, saat ini terlihat adanya sedikit penurunan di level US$73.59 per barel untuk pengiriman bulan September yang diperdagangkan pada hari Jumat 16 Juli 2021 kemarin. Baca Juga: PT Pertamina: Siap Produksi B40 Berbahan Sawit Dengan Syarat…

        Kemudian, ia menilai kenaikan harga minyak dunia diikuti dengan kenaikan harga Indonesian Crude Price (ICP) sepanjang 2021 ini, ketimbang tahun 2020 lalu.

        Tak hanya itu, kenaikan harga minyak juga terjadi pada harga MOPS ataupun Argus yang merupakan harga acuan dalam menentukan BBM yang beredar di tanah air sesuai dengan KepMen ESDM No 62 tahun 2020 Tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar Yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Dan/Atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan. Baca Juga: Pertamina Bantu PMI Soal Donor Plasma Konvalesen: Dari Sumbang Alat Hingga Cari Pendonor

        Dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, dikarenakan naiknya harga minyak dunia serta kenaikan MOPS, SPBU swasta yang beroperasi di Indonesia sudah beberapa kali mengalami kenaikan yang cukup signifikan mengingat ruang mereka untuk itu di atur dalam KepMes ESDM no 62/2020 tersebut, dimana periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya, sampai dengan tanggal 24 satu bulan sebelumnya untuk penetapan bulan berjalan.

        “Jika melihat rata-rata MOPS MOGAS 92 untuk 3 bulan terakhir dimana bulan April 2021 adalah US$71.7, Mei US$74.32 dan Juni 2021 adalah US$78.85, sehingga rata-rata 3 bulan terakhir adalah US$74.95 per barel. Belum lagi landed cost sebesar US$ 2 per barel maka harga landed Pertamax adalah US$76.95,” imbuhnya, dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/7/2021).

        Baca Juga: Geger Kabar Dirinya Jualan Obat Covid Cuma 'Goceng', Bos Pertamina Si Ahok Buka Suara..

        Dengan menggunakan kurs rata-rata 3 bulan terakhir adalah Rp14.400 per dollar, maka harga perliter adalah sebesar Rp6.969. Ditambah dengan konstanta sebesar Rp1.800 dan margin 10% maka harga sebelum pajak adalah sebesar Rp9.646/liter.

        "Jika ditambah dengan PPN dan PBBKB maka harga Pertamax adalah sebesar Rp 11.093 dibulatkan menjadi Rp11.100. Jika mengacu kepada harga saat ini, maka Pertamina sudah mengalami kerugian sebesar Rp2.100 per liternya, dihitung dengan formula yang ditetapkan dengan KepMen ESDM 62/2020 tersebut." imbuhnya lagi.

        Begitu juga untuk jenis Pertalite, jika mengacu kepada harga MOPS MOGAS 92 bulan untuk 3 bulan terakhir, dengan formula sesuai KepMen 62/2021, dimana untuk RON 90 formulanya adalah 99.21% dari MOPS Mogas 92, maka seharusnya harga Pertalite adalah Rp11.000 perliter, sedangkan saat ini Pertamina menjual dengan harga Rp7.650 dimana ada selisih kekurangan sebesar Rp3.350 per liternya.

        Kondisi ini jelas memberatkan bagi Pertamina, ditengah pandemi Covid-19 yang masih belum selesai di Indonesia.

        “Pembatasan mobilitas masyarakat berpengaruh terhadap penjualan BBM milik Pertamina jika pembatasan ini akan berlangsung cukup lama. Belum lagi, sebagai negara yang sudah menjadi net importir, maka Pertamina harus mengimpor minyak mentah maupun produks ditengah harga yang tinggi ini. Hal ini bisa dipastikan akan membahayakan keuangan Pertamina karena harga beli yang tinggi tetap harga jual tidak mengalami kenaikan,” ujarnya.

        Selain membebani Pertamina, ia menilai untuk produk BBM yang bukan subsidi maupun bukan penugasan maka selisih harga ini akan ditagih oleh Pertamina dalam bentuk dana kompensasi yang harus di bayarkan oleh Pemerintah. "Yang jadi permasalahan, dana kompensasi tersebut tidak bisa langsung dibayarkan oleh Pemerintah tetapi menyesuaikan dengan kondisi keuangan negara sehingga arus keuangan Pertamina menjadi terganggu." cetusnya.

        Karena itu, ia meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM untuk sedikit memberikan kelonggaran bagi Pertamina menyesuaikan harga BBM non subsidi mereka.

        "Jika tidak, maka keuangan Pertamina bisa terganggu karena harus menanggung kerugian yang cukup besar dari selisih harga BBM yang mereka jual." ucapnya.

        Selain itu, lanjutnya, Pertamina juga masih mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam program BBM Satu Harga untuk wilayah 3T serta harus mendistrubusikan barang subsidi lain seperti solar mapun LPG 3 kg ke seluruh wilayah di Indonesia dimana tantangan dari sektor transportasi menjadi utama.

        Sebagai perbandingan, saat ini harga BBM milik SPBU Swasta yaitu Shell harga untuk jenis Super (Ron 92) Rp 10.580, V-Power (Ron 95)  Rp 11.050, Reguler (Ron 90) Rp 10.520, dan Diesel Rp 10.380. Harga BBM Pertamina Pertalite (Ron 90) Rp 7.650, Pertamax (Ron 92) Rp 9.000, Pertamax Turbo (Ron 98) Rp 9.850 dan Pertamina Dex Rp 10.200.

        “Meskipun dalam kondisi sulit, Pertamina tetap membantu pemerintah dalam menangani pandemic ini. Pertamina membantu dalam penyediaan oksigen, mulai dari iso tank hingga jalur transportasi untuk pengadaan oksigen. Selain itu, Pertamina juga membantu dalam penyediaan peralatan medis di RS Asrama Haji serta membangun rumah sakit modular di Tanjung Duren,” tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: