Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 49/2018 belum juga selesai meski telah melewati pembahasan selama beberapa bulan.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa mengatakan perbaikan regulasi ini penting dan mendesak untuk memaksimalkan pemanfaatan energi surya yang potensinya mencapai 19,8 TWp serta mendukung pencapaian target 23% bauran energi terbarukan tahun 2025 sesuai target Perpres No. 22/2017.
Baca Juga: Raih Pendanaan dari Sejumlah Investor, Startup Xurya Daya Perluas Instalasi PLTS Atap
“PLTS Atap dapat mendukung pencapaian target energi terbarukan yang dicanangkan Presiden melalui gotong royong masyarakat. Adanya potensi teknis dan minat yang tinggi dari masyarakat dan pelaku usaha untuk ikut serta mendukung program pemerintah melalui pemasangan PLTS Atap harus direspon dengan regulasi yang kondusif,” ujar Fabby dalam konferensi pers secara virtual pada akhir pekan lalu.
Bagi konsumen rumah tangga lanjut Fabby ketentuan ekspor-impor 1:1 ke dan dari jaringan PLN akan mempercepat waktu pengembalian investasi pelanggan.
“Diperlukan juga dengan proses pengajuan dan perizinan yang jelas, tidak berbelit-belit, kepastian mendapatkan meter exim yang diterapkan seragam di seluruh Indonesia perlu agar calon pengguna mendapatkan kepastian,” tegasnya.
Asosiasi sendiri, menurut Fabby, juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk mendorong peran aktif masyarakat dalam menggunakan energi terbarukan dengan perbaikan permen tersebut.
Survei pasar yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jabodetabek, Surabaya, Bali, dan Jawa Tengah 2 menggarisbawahi aspirasi calon pengguna PLTS atap untuk tingkat keekonomian yang lebih baik.
Mayoritas responden menginginkan periode balik modal investasi di bawah 7 tahun, dominan di 3-5 tahun. Hal ini tidak dapat dipenuhi oleh regulasi saat ini, yaitu tarif net-metering 1:0.65.
Dengan menjadikan tarif ekspor listrik setara tarif impor, periode balik modal dapat diperpendek 1-2 tahun. Fabby menekankan bahwa keekonomian memang masih menjadi salah satu faktor penting bagi masyarakat dan berbagai pihak, di samping motivasi lainnya seperti kontribusi pelestarian lingkungan dan persepsi bahwa PLTS atap merupakan teknologi yang keren dan hi-tech.
“Perbaikan regulasi yang meningkatkan keekonomian terbukti menjadi pendorong utama naik pesatnya instalasi PLTS atap di sektor industri dengan adanya penurunan biaya paralel kapasitas dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam per bulan,”paparnya.
Untuk itu bila pemerintah serius ingin menunjukkan dukungan pada pemanfaatan energi surya, ia mendesak agar peraturan yang ada harus merefleksikan tingkat keekonomian yang menarik, juga kejelasan prosedur.
Sekretariat Jendral AESI I Made Aditya menambahkan PLTS Atap merupakan inovasi yang tak bisa dihindarkan. Sehingga sangat lumrah diterapkan di masyarakat.
"Bisnis PLTS merupakan ekosistem atau bisnis yang sangat terbuka, apabila ada ketertarikan dari semua pihak sudah sepantasnya memiliki hak untuk berkompetisi secara sehat baik dari stakeholders, pengembang, instaler dan sebagainya sehingga peraturan dan regulasi yang hendaknya dibuat itu sudah seharusnya mendorong market demand. Sehingga apabila semuanya di dukung maka masyarakat yang akan diuntungkan," papar I Made yang sekaligus Head of Business Solution SUN Energy itu.
Sebelumnya Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mangatakan draft terbaru revisi Permen 49/2018 ini akan mengembalikan tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1 sesuai Peraturan Direksi PLN 1 yang sebelumnya dipakai, periode reset kelebihan transfer listrik diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan, dan penyederhanaan proses pendaftaran serta penggantian kWh meter.
“Perubahan ini telah mengakomodasi masukan berbagai pihak untuk meningkatkan daya tarik dan keekonomian PLTS atap sehingga diadopsi lebih luas oleh masyarakat,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Alfi Dinilhaq