Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengajak semua warga Ibu Kota bersedia untuk mengikuti vaksin Covid-19. Sebab, hanya dengan partisipasi tersebut maka kekebalan komunal atau herd immunity bisa terwujud.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan, di atas kertas jumlah penerima vaksin di Jakarta mencapai 8,8 juta orang. Jumlah ini sudah melampaui target untuk mencapai kekebalan komunal.
Rinciannya, sebanyak 8.861.264 juta warga telah menerima dosis pertama atau 99,1 persen dari target. Dan, sebanyak 4.007.949 warga atau 44,8 persen telah menerima vaksin dosis kedua.
Baca Juga: Ada Kabar Gembira, Anies Baswedan Turun Tangan: Wajahnya Berbinar-binar
Namun, disampaikan Anies, sebanyak 40 persen penerima vaksin bukan pemegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Hal ini terjadi lantaran Pemprov menetapkan empat golongan penerima vaksin yakni pemegang KTP DKI Jakarta, warga yang tinggal di Ibu Kota namun tidak ber-KTP Jakarta, orang yang tinggal di luar daerah namun bekerja di Jakarta, dan pelajar yang tinggal di luar daerah, namun sekolah atau berkuliah di Jakarta.
"Nah, kami ingin semua warga yang berada di Jakarta tervaksin," ujar Anies dalam siaran langsung di instagramnya @aniesbaswedan, Jumat (15/8/2021).
Anies mengungkapkan, tantangan untuk mencapai 100 persen vaksinasi yakni adanya masyarakat yang menolak divaksin.
"Hanya kolaborasi antar-warga yang bisa menghentikan ini semua," rayu Anies.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti menyebut ada sekitar tiga juta warga Jakarta masih enggan mengikuti vaksinasi Covid-19. Karena itu, dia meminta sejumlah pihak untuk aktif mengajak warga agar mau melakukan vaksinasi.
"Ayo bersama ciptakan kekebalan komunal dengan cara vaksinasi," tegasnya.
Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengingatkan, untuk mencapai herd immunity merupakan proses yang membutuhkan jangka panjang. Karena, berdasarkan standar World Health Organization (WHO), vaksinasi hanyalah salah satu dari tiga variabel untuk mencapai herd immunity.
"Bukan berarti kalau 100 persen sudah divaksin, automatically tercapai herd immunity. Ini bukan variabel tunggal," jelasnya.
Variabel yang kedua adalah angka reproduksi efektif (Rt) Covid-19. Yakni, tingkat potensi penularan virus. Rt harus di bawah 1. Bahkan, harus sekecil mungkin. Angka Rt dipengaruhi oleh tracing, testing, dan treatment atau 3T . Lalu variabel ketiga, adanya vaksin yang memiliki efektivitas tinggi dalam mencegah penularan.
"Dan hal itu belum ada di dunia," sebut Dicky.
Dia menilai, Jakarta masih dalam perjalanan panjang untuk mencapai herd immunity. Apalagi, ada potensi munculnya varian baru yang dapat menurunkan efikasi vaksin yang tersedia.
"Kalau 96 persen itu mencapai threshold herd immunity. Tapi harus dua kali suntik, bukan satu kali suntik," imbuhnya.
Baca Juga: Tak Sampai Sebulan, Anies Baswedan Kabarkan Penurunan Kasus Aktif Covid-19 di Jakarta
Tolak Vaksin
Survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Maret lalu mengungkapkan persentase tertinggi warga yang menolak untuk divaksin Covid-19 ditemukan di DKI Jakarta (33 persen), Jawa Timur (32 persen), dan Banten (31 persen). Sementara persentase terendah penolakan vaksin ditemukan di Jawa Tengah (20 persen).
"Ini temuan yang mengkhawatirkan mengingat DKI adalah daerah yang yang memiliki tingkat penyebaran Covid-19 tertinggi di Indonesia," ujar Direktur Riset SMRC, Deni Irvani di Jakarta, akhir Maret lalu.
Survei ini digelar mencakup semua provinsi di Indonesia. Survei dilakukan pada 28 Februari 2021-8 Maret 2021 dengan metode wawancara tatap muka. Survei ini melibatkan 1220 responden yang dipilih secara acak, dengan margin of error 3,07 persen.
Menurut Deni, tingginya tingkat penolakan terhadap vaksin di DKI Jakarta tampaknya sejalan dengan persepsi tentang keamanan vaksin. Di Jakarta, sebagaimana juga terjadi di Sumatera, persentase warga yang tidak percaya bahwa vaksin dari Pemerintah aman, mencapai 31 persen. Di sisi lain, hanya 19 persen warga Jawa Tengah yang tidak percaya vaksin dari Pemerintah aman.
Survei nasional SMRC juga mengungkapkan sejumlah temuan terkait aspek demografi warga. Secara nasional, persentase warga warga laki-laki yang menyatakan tidak bersedia divaksin (33 persen), lebih tinggi dari perempuan (26 persen).
Persentase warga berusia di bawah 25 tahun yang menyatakan tidak bersedia divaksin (37 persen), lebih tinggi dari kelompok usia 26-40 tahun (28 persen), 41-55 tahun (23 persen), dan lebih dari 55 tahun (33 persen).
Persentase warga yang berpendidikan maksimal SD yang menyatakan tidak bersedia divaksin (34 persen), lebih tinggi dibandingkan kelompok berpendidikan tertinggi SMP (26 persen), SMA (29 persen), dan lebih dari SMA (26 persen).
Bila dilihat etnisitas, persentase terbesar etnik warga yang tidak mau divaksin adalah Madura (58 persen) dan Minang (43 persen). Sedangkan yang paling tinggi persentase bersedia divaksin adalah Batak (57 persen) dan Jawa (56 persen). Bila dilihat dari sisi agama, persentase warga muslim yang tidak bersedia divaksin (31 persen), lebih tinggi dari non-muslim (19 persen).
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menilai, ada dua kemungkinan warga menolak divaksinasi. Yakni, mungkin masyarakat Jakarta masih ingin mengetahui dahulu terkait perkembangan vaksin. Kedua, menunggu proses tahapan vaksin.
Riza optimistis seluruh warga Jakarta bakal bersedia mengikuti program vaksinasi. Apalagi, Pemprov DKI terus meningkatkan fasilitas maupun pelayanan vaksinasi Covid-19.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo